Pulang Bersama

154 25 10
                                    

Denting jam dinding terus bergerak. Kegiatan makan malam yang dipenuhi keheningan akhirnya selesai. Tanpa rasa ragu Runa segera menatap Bumi.

"Bumi, bisa anterin gue pulang?"

Pertanyaan Aruna membuat Bumi, Gavin, Lian dan Alma terkejut. Bumi melirik Gavin, Gavin terlihat berkedip sekali seolah menyetujui keputusan Aruna untuk pulang bersama Bumi.

"Biar Alma gue yang anterin pulang." Seolah peka dengan kebingungan yang Bumi rasakan, Aulian tiba - tiba saja menawarkan diri untuk mengantar Alma pulang.

"Malam ini traktirannya gagal. Lain kali gue bakalan traktir lo. Hati - hati ya pulangnya." Bumi mengulas senyum hangat. Niat untuk mentraktir Alma gagal karena makanan mereka malam ini dibayar full oleh Gavin.

"Iya, nggak papa, kak. Masih ada lain kali kan." Alma tersenyum menenangkan. Seolah paham dengan perasaan Bumi.

"Iya, lain kali pasti gue traktir." Bumi ikut tersenyum. Aruna hanya diam saja disampingnya. Mereka berdua menatap kepergian Alma, Lian dan Gavin.

Setelah ketiganya pergi, Bumi segera menatap Aruna. "Kita pulang pake apa?"

"Terserah, aja."

"Lo bawa sepeda, 'kan?

"Huum."

"Kalo gitu kita naik sepeda aja."

"Boleh. Hmm sebelum pulang mau temenin ke taman dulu nggak?" Aruna memberanikan diri untuk mengajak Bumi pergi ke taman guna melihat bintang.

"Mau. Gue pasti temenin lo. Ayo." Bumi mengulurkan tangan.

Runa hanya melihat uluran tangan itu tanpa niat menautkan tangan mereka.

"Ups. Lupa. Belum halal nggak boleh pegang, deng." Bumi menepuk jidatnya pelan, tak lupa dia juga menampilkan senyum menggemaskan.

Runa tersenyum tipis. Ia berjalan lebih dulu meninggalkan Bumi dibelakang dirinya. Bumi merutuki kebodohannya seraya menyembunyikan wajahnya yang memerah karena malu.

***

"Cinta, kapan kita bisa ke Indonesia?" Caca menatap Rega. Rega menghentikan kegiatannya mengupas buah.

Dengan wajah tampan dan senyuman tipis, pria paruh baya itu menatap sang istri, "Setelah keadaan kamu sembuh total."

"Aku udah ngerasa sembuh. Ini udah terlalu lama."

"Tapi kaki kamu masih belum bisa gerak, Cin." Rega mencoba memberikan penjelasan.

"Aku nggak mau tau. Aku mau cepet ketemu Raga. Aku mau ke Indonesia. Please!" Caca menatap Rega dengan mata yang berkaca - kaca. Dia sudah begitu menunggu terlalu lama. Bayangkan saja dia tertidur hampir empat tahun lamanya. Lalu untuk proses penyembuhan sampai dengan bisa berbicara, Caca sudah menghabiskan waktu hampir empat bulan lamanya. Jadi, tidak ada lagi kata menunggu. Caca ingin segera pergi ke Indonesia walau dengan keadaan kaki yang tak bisa digerakan.

"Okey, kita pasti ke Indonesia. Dua minggu lagi, ya. Aku harus urus banyak hal dulu untuk kepindahan kita." Rega akhirnya mengalah. Dia mengusap lembut tangan mungil sang istri.

"Makasih, Cinta. Sebelum dua minggu itu, aku mau denger suara Raga. Bisa tolong telponin?"

"Nanti aku telponin, kamu makan buahnya dulu." Rega menyodorkan buah yang tadi sudah dia kupas.

"Aku pasti makan, tapi telponin dulu." Caca tetap bersikeras. Tak lupa dia juga mengambil satu buah Pir yang sudah di potong kecil - kecil oleh Rega.

"Iya sayangku." Tau jika Caca tengah merasa tak sabaran. Rega bergegas mengambil ponselnya di atas nakas. Setelah ponsel miliknya sudah berada di genggaman, ia mengetik nama putra sematawayangnya yang sudah begitu lama tidak dia hubungi.

Bad Boy and Silent Princess [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang