Pengagum Rahasia

285 51 114
                                    

Sebelum baca

Absen dulu yuk.

Kalian dari kota mana?

***

"Apa lo nggak bosen ngeliat punggung Aruna terus dari jauh?"

Langkah kaki yang bergerak beraturan lantas terhenti. Kelopak matanya mengerjap perlahan. Lelaki berseragam rapi ini mengenal dengan baik suara seorang lelaki yang menghentikan langkahnya.

Tanpa menoleh dan hanya fokus menatap ke arah lapangan, ia pun menjawab, "Lo sendiri gimana? Apa nggak bosen terus-terusan menghindar dan cari masalah."

"Siapa yang cari masalah?! Jelas-jelas elo kan sumber masalahnya!" Perkataan sinis kembali dilontarkan. Gavin menatap punggung Lian dengan tajam. Tubuh yang tadi dia sandarkan pada tembok lantas bergerak perlahan guna mendekati Aulian.

"Gue lagi males berdebat. Bisa gue pergi." Aulian mencoba menghindar. Dia malas berdebat dengan Gavin jika pemuda itu masih tetap keras kepala.

"Bisa. Tapi setelah lo jawab pertanyaan gue."

"Gue bukan guru. Gue juga nggak ada kewajiban buat jawab pertanyaan lo."

"Lo ada kewajiban. Mungkin elo lupa. Tapi gue nggak akan lupa."

Aulian mengembuskan nafas. Dia sudah mengenal Gavin. Bahkan sangat mengenalnya. Gavin tentu tidak akan membiarkan dirinya pergi tanpa beradu argumen terlebih dulu.

"Apa pertanyaan lo?" tanya Aulian seraya memutar tubuhnya ke arah Gavin.

Mendapat respon yang diinginkan. Gavin segera melontarkan pertanyaan. "Lo suka sama Aruna?"

"Kenapa lo tanya gitu?" Aulian malah balik bertanya.

"Bisa nggak lo jawab dulu? Gue capek kalo harus bolak balik nanya," jawab Gavin dengan nada yang tekesan menahan kesal.

Mulut Aulian terlihat bergerak. Ekspresi Gavin langsung berubah. Akan tetapi setelah yang dia dengar hanya gumaman saja. Gavin tanpa segan ingin menonjok Aulian karena begitu merasa geregetan.

Aulian hanya diam. Kedua sudut bibirnya terangkat. Dia tidak ingin mengelak walau sudah tau tonjokan Gavin bukan tonjokan biasa.

"Cih." Gavin mengumpat. Tangan yang tadi ingin dia gunakan untuk membuat noda biru diwajah tampan Lian segera dia turunkan.

Sekali lagi, dengan wajah kesal Gavin kembali bertanya, "Mau jawab nggak lo?!"

"Gue mau jawab. Tapi gue nggak tau jawaban ini bener atau enggak."

Ekspresi wajah Gavin terlihat lebih rumit. Berbicara dengan Lian memang membutuhkan kesabaran ekstra. Tenang Vin, sabar. Aulian emang begini bentukannya. Dia kaga ada mirip-miripnya sama lo.

"Terserah lo deh. Lagian pertanyaan gue bukan soal yang perlu jawaban yang bener."

"Gue ... kayaknya suka sama Aruna."

"Bukan kayaknya lagi. Elo emang beneran suka sama Runa. Buktinya aja lo selalu bela-belain bikin jus strawberry ini terus naro di atas loker punya Runa. Selain itu elo selalu merhatiin dia dari jauh." Gavin nyerocos seraya mengangkat tumbler berukuran sedang yang sudah dipenuhi oleh jus strawberry.

"Kalo lo udah tau sejauh itu tentang gue. Kenapa lo capek – capek nanya hal itu langsung?"

"Karena gue butuh kepastian."

"Kepastian untuk?"

"Kepastian untuk ngehalalin lo jadi pengganti samsak gue!" Tekad Gavin semakin bulat. Dia sepertinya sudah tidak segan untuk membuat Aulian menjadi bahan pelampiasan amarahnya.

Bad Boy and Silent Princess [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang