Sebuah Tumpangan

114 26 6
                                    

Aruna tengah menggendong tas sekolah miliknya. Langkahnya terhenti tepat di depan kamar milik Arjuna. Ada seorang asisten rumah tangga di dalam. Dengan ramah Runa bertanya, "Bi Asri udah selesai?"

Bi Asri menghentikan pekerjaannya. Ia pun menoleh ke arah pintu yang hanya terbuka setengah bagian. "Udah, non. Non Aruna butuh sesuatu?" tanyanya sembari mendekati Aruna.

Aruna segera menggeleng. "Enggak, kok, Bi. Runa mau berangkat dulu. Aruna pamit ya." Runa tersenyum ramah. Selain tersenyum dia juga mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan Bi Asri.

Bi Asri tersenyum simpul. Ia membiarkan Aruna mencium tangannya. Senang rasanya bisa bekerja dengan keluarga Alan. Karena selama bekerja di sini, Bi Asri diperlakukan dengan begitu baik. Bahkan, dianggap seperti keluarga sendiri.

"Hati - hati, ya, Non."

"Iya, Bi. Assalamu'alaikum."

Senyum Bi Asri masih terus mengembang. Manik matanya memperhatikan Aruna yang fokus menuruni anak tangga dengan pelan.

***

"Loh, Pak Dadang, kok masih di sini? Mobilnya udah siap?" Aruna keheranan. Pasalnya pak Dadang tengah santai sembari menyesap kopi miliknya.

"Eh, non Runa. Ini non katanya non Aruna mau berangkat bareng temen non," ucap Pak Dadang.

"Temen? Nala sama Papi udah dateng?" Tanya Aruna sedikit bingung.

"Bukan, non."

"Oh, kalo gitu Ile?" Aruna kembali menebak.

"Bukan den Ile juga."

Aruna mengerjap. Dua orang yang memang paling mungkin datang untuk menjemputnya sudah dia sebutkan. Namun, pak Dadang belum juga memberikam jawaban yang pas.

"Terus yang dateng siapa, Pak? Cowok yang pernah nganterin Aruna kah?" Meski ragu untuk menyebut nama Bumi, akhirnya Runa tetep menyebutkan nama Bumi meski tidak secara langsung.

"Bukan den Bumi juga, non. Non bisa liat sendiri."

Aruna semakin merasa penasaran. Ia mempercepat langkah kakinya. Setelah sampai di depan rumah dan kakinya menyentuh tangga terakhir yang memang ada di teras rumahnya. Alis Runa tertaut. Manik matanya mengerjap beberapa kali. Dia merasa aneh tatkala melihat mobil BMW Z4 warna putih yang begitu asing.

"Ini mobil siapa? Perasaan Abi nggak ada beli mobil baru deh?" Aruna bertanya - tanya. Meskipun merasa penasaran, nyatanya, Aruna sama sekali tidak ada niatan untuk mendekati mobil asing itu.

Pintu mobil pengemudi terbuka. Aruna sontak fokus menatap sisi mobil di sebelah kanan. Ia ingin tau siapa orang yang membawa mobil sport BMW Z4 warna putih ini.

Presensi seorang pemuda tampan lengkap dengan seragam rapi serta memakai almamater abu - abu terlihat. Pemuda itu menatap Aruna, tatapannya terlihat sedikit tidak enak karena dia merasa datang tanpa di undang.

"Pagi Aruna. Sori, gue dateng nggak ada ngabarin lo. Tapi, sebelum ke sini gue tadi udah izin sama pak Alan dulu."

Melihat pemuda tampan yang memang tidak asing dimatanya. Aruna hanya diam saja, ia terkejut, tentu saja karena untuk pertama kalinya selama mereka saling mengenal pemuda tampan itu berani untuk menjemputnya.

"Lian."

"Iya, ini gue. Gue mau ajak lo ke sekolah bareng. Apa lo nggak keberatan?"

Bad Boy and Silent Princess [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang