[ SUDAH TAMAT, TAPI DIMOHON UNTUK TETAP VOTE YA ]
Ini tentang Kai, Kailanza Ryder Shankara. Si mawar hitam. Cantik, namun mencekik. Ia berduri, ia menyakiti. Manusia baik yang badjingan. Kalimatnya manis, semanis racun yang membunuhku tanpa ampun.
...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
★★★★★
Belakangan, aku dan Kai jadi cukup dekat. Kami tidak melakukan sesuatu yang dapat dibilang romantis. Kai hanya lebih sering mengajakku berinteraksi, dia sering sekali menganggu dan mengajakku berdebat tentang uang kas yang tidak pernah ia bayar.
"Gue ini anak yatim-piatu, Al! Lo enggak kasihan sama gue?" Tanyanya dengan raut wajah memelas. Matanya yang cokelat terang kali ini meredup.
Aku memutar bola mata malas. Benci sekali kala Kai mengeluarkan kalimat gelapnya. "Ah." Kataku malas. "Jangan gitu, Kai."
Kai hanya tertawa. "Bunda gue aneh ya? Ada kasur empuk malah milih tidur di bawah tanah."
"Kai!" Aku membentaknya. Bukan karena apa, aku hanya tidak suka melihat Kai menatap langit dengan tatapan penuh renjana.
"Bercanda!" Katanya sambil mencubit pipiku pelan.
Telat. Diksi memilukannya berhasil menyentuh sanubariku. Aku sedih untuknya.
Mata memang tidak bisa berbohong. Kai memandangi langit yang penuh awan, dia membiarkan senyumnya menari di udara, dia pasti amat merindukan ke-dua orang tuanya. Matanya berbinar, disisi lain ada sekuntum redum di dalam sana.
"Kai," Ku sentuh pundaknya pelan. Kai menoleh, dia bergumam kecil dan mengangkat satu alisnya. "Mau brownies enggak?" Aku tidak tau bagaimana cara menghibur seseorang yang tengah bersedih. Biasanya, aku hanya mendengarkan ocehan Ayu atau Stella kalau mereka sedang sedih, tetapi Kai cukup pendiam sekalinya bicara, dia mengucapkan kalimat lucu yang gelap sekali.
Kai tampak berpikir, "gue mau yang lain." Katanya dengan senyuman. Ia kemudian berkata lagi dengan nada yang agak berbisik, "nanti pulang cepet. Gimana kalau kita jalan-jalan bentar?"
"Oo." Aku berpikir sebentar. "Kita mau kemana emangnya?"
"Kesuatu tempat yang gue sukai. Anggap aja ini kencan." Dia mengatakan kalimat terakhirnya dengan berbisik tepat di samping telingaku.
Aku menelan ludah. Bagaimana ya? Aku bukan seseorang yang terbiasa bepergian tanpa izin. Yang waktu lalu saja aku sudah menceritakan semuanya kepada Ayah juga Mama. Alhasil aku mendapat omelan dan uang saku dipotong.
"Itu sebabnya, Al. Gue pengen kenalan sama orang tua lo."
"Buat apa?"
"Biar mereka tau gue ini anak yang seperti apa. Lo itu, seorang putri yang dilindungi Ratu dan Raja. Enggak sembarang orang bisa menemui lo."
"Tapi—"
"Sst! Ya, udah. Jangan sekarang. Kita nunggu waktu yang tepat buat kencan." Dia mengedipkan matanya genit. "Oh, ya, lo enggak penasaran kenapa bandul gelang itu belum gue kasih?"