28. Jauhi Dia!

40 12 0
                                    

💚28. Jauhi Dia!

Di sekolah lain, perpustakaan adalah tempat paling aman, nyaman, sentosa, tanpa gangguan, tapi lain di sekolahku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di sekolah lain, perpustakaan adalah tempat paling aman, nyaman, sentosa, tanpa gangguan, tapi lain di sekolahku. Perpustakaan GALSA sangatlah ramai—itu sebenarnya dapat disebut sebuah prestasi—karena mengambil konsep Jepang, membuat siapa pun betah duduk lama-lama disini, walau hanya sekedar menumpang selfie.

Tapi aku tidak begitu, aku datang untuk menangis. Rasanya kesal sekali, Kai sama sekali tidak mengerti betapa aku membutuhkan penjelasannya.

Aku memberinya kode bahwa masalahnya bukan karena kencan kami batal, bukan sesepele itu! Tapi justru, dia menyalahkan orang lain dan bersikap seakan ia sendiri tidak bersalah.

Dan yang paling penting, dia tidak bisa memperlakukan orang lain sebaik ia memperlakukan diri sendiri. Maksudku, Kai ingin orang lain mengerti tentang Kai, tapi Kai sendiri tidak mau mengerti tentang orang lain.

"Shit, kalo Ayu tahu gue nangis, bisa jadi bahan ledekan bertahun-tahun." Aku mengusap sudut mataku, airnya membasahi jemari tanganku.

Alea ngga akan pernah menangisi laki-laki

Kalimat setahun yang lalu kembali terngiang di kepalaku. Aku meringis saat mengingatnya. Aku pernah mengatakan hal itu pada Ayu beratus-ratus hari yang lalu.

"Aku menangisi hatiku sendiri."

Hatiku yang malang. Aku benci fakta bahwa perempuan sangat mengedepankan perasaan.

Meraih sebuah buku untuk sebuah formalitas ketika memasuki perpustakaan. Ku buka lembarnya dan mulai melamun. Kalau saja buku itu bisa bicara, mungkin ia akan berteriak meminta tolong untuk diletakkan kembali ke rak karena merasa tidak berguna. Buku itu gunanya dibaca, tapi aku membuat ia hanya sebagai formalitas saja.

Argh! Aku galau!

"Alea?" Kenapa harus ada yang menyapa di saat-saat seperti ini?

Itu suara laki-laki, aku tahu dia siapa. "Lo nangis?"

"GA!"

"Buset, kenapa lo?" Derit kursi terdengar, Haikal duduk di sebelah kiriku yang mulai membuka sebuah novel falsafat.

Aku jadi salah fokus dengan bukunya. "Buset, selera lo." Sejujurnya, Haikal ini cukup pandai dan punya wawasan yang luas, karena ia sering membaca buku. Meski di kelas dia terkesan tidak terlalu mendengarkan penjelasan guru, tetapi ia menyukai novel yang berisi pelajaran di dalamnya.

"Jangan ngalihin pembicaraan, lo kenapa?" Dia bertanya lagi akan hal itu.

"Enggak papa."

Decakan kesal keluar dari bibirnya yang segar. "Gue enggak mau maksain lo buat cerita si." Dia mulai membuka bukunya, dibaca dari halaman pertama.

"Ngomong-ngomong, Kal. Lo udah buat akun Wattpad?"

Haikal ini kulitnya kuning langsat, tapi aku tahu dia malu dari senyumannya yang mengembang besar sekali. "Ssst, cuma lo doang yang tahu gue buat cerita di akun itu."

𝐒𝐚𝐧𝐠 𝐏𝐞𝐦𝐛𝐮𝐫𝐮 𝐒𝐞𝐧𝐣𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐓𝐚𝐤 𝐒𝐞𝐭𝐢𝐚  ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang