[ SUDAH TAMAT, TAPI DIMOHON UNTUK TETAP VOTE YA ]
Ini tentang Kai, Kailanza Ryder Shankara. Si mawar hitam. Cantik, namun mencekik. Ia berduri, ia menyakiti. Manusia baik yang badjingan. Kalimatnya manis, semanis racun yang membunuhku tanpa ampun.
...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
★★★★★
"Kai, kamu jarang ngabarin aku belakangan ini." Aku mengajak Kai mengobrol, lelaki itu sedang bermain-main dengan alat-alat yang ada di laboratorium sekolah. Dia memainkan banyak sekali benda, kalau dia begini, dia pasti sedang bosan dengan segala kegiatan yang ada.
"Kamu kan tahu aku kurang suka ngirim pesan. Aku lebih seneng kita ketemu langsung." Dia menjawab tanpa menoleh, sibuk menggelindingkan kelereng dengan dua jarinya seakan sedang bermain bola. Entah kelereng itu di dapat dari mana.
"Masalahnya, kamu juga jarang telepon aku, engga kaya dulu-dulu." Aku menunduk lesu, menatap kedua kakiku.
"Aku sibuk, Alea. Aku punya urusan pribadi di luar sekolah. Lagian, kita juga ketemu di sekolah, kurang?"
"Kamu sibuk sendiri juga. Main terus sama anak IPS."
"Alea," Kai menatapku. "Kamu harus ngerti."
Aku benci harus mengerti dirinya selalu, dan aku benci diriku karena aku selalu mengiyakan segala ucapan Kai.
"Aku tahu, aku ngerti. Kamu enggak suka berkirim pesan, tapi kamu susah kalau aku telepon, kamu lebih suka ketemu langsung tapi kamu juga sibuk sendiri sama temen-temen kamu. Aku harus gimana?
"Aku selalu tanya, kamu lagi ngapain, itu bukan sekedar basa-basi, aku ingin pastiin kalau kamu baik-baik saja."
Kai belakangan selalu merespon ucapanku dengan nada malas, tidak semenyenangkan saat awal kami menjalin hubungan. Seakan tidak ada lagi kehangatan, tidak ada lagi rasa tertarik padaku. Semua yang ada di diriku, seakan membosankan untuk Kai.
"Maaf ya, kalau aku banyak nuntut."
Aku bangkit, lebih baik duduk dengan Stella dan Ayu daripada bersama Kai tapi merasa diabaikan.
"Sore ini, kita jalan."
Kai selalu berhasil membuatku merasa diacuhkan, tapi dia juga selalu berhasil membuat aku merasa diistimewakan. Aku tidak tahu, kenapa Kai bisa seperti itu.
Kai benar, dia mengajakku jalan-jalan. Dia menjemputku setelah aku selesai latihan musik, dia juga menungguku mandi dan lain-lain, sambil mengobrol dengan Ayahku tentang suatu hal.
Dia tidak komplain meski menunggu nyaris satu jam. Aku tersenyum ketika Kai memujiku di depan ayah.
"Cantik banget anaknya, Om." Kata Kai sambil menatapku dari atas sampai bawah.
"Kamu mau ribut sama saya?" Ayah menatap Kai nyalang. "Enggak usah pergi, Al!"
"Eh! Mana bisa!" Kai meraih telapak tanganku. "Kami pergi, Om! Tataahh!"
"Jaga anak saya!"
"Siap, Komandan!"
Aku tertawa melihat kedekatan mereka. Tampak akrab dan menyenangkan.