[ SUDAH TAMAT, TAPI DIMOHON UNTUK TETAP VOTE YA ]
Ini tentang Kai, Kailanza Ryder Shankara. Si mawar hitam. Cantik, namun mencekik. Ia berduri, ia menyakiti. Manusia baik yang badjingan. Kalimatnya manis, semanis racun yang membunuhku tanpa ampun.
...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
★★★★★
Suasana kantin yang ramai tak membuatku gagal fokus untuk memainkan permainan zombie di ponsel Kai, sambil menunggu lelaki itu mengisi perut, aku mengisi waktu kosong dengan menguasai ponsel Kai.
Kai bukan tipe orang yang begitu peduli dengan ponselnya. Dia mengizinkanku mengunduh permainan zombie dan mengizinkanku melihat-lihat galerinya. Bahkan, aku pernah mendapati Kai yang begitu santai ketika ponselnya menggelinding dari anak tangga, padahal ponselnya tidak menggunakan casing atau pelindung.
"Kamu mau aku cariin casing enggak?"
Kai melirikku dengan mulut penuh oleh makanan, dia mengangkat tangan kanannya sebagai kode agar aku menunggunya menelan makanan. "Aku udah pernah beli, tapi cepet kotor."
"Ya makanya beli lagi." Aku tertawa kecil melihatnya makan dengan lahap.
Ting!
Rora | ok, nnti kita ktmu di sana
Seketika ada api yang muncul di dadaku, membuat jantungku berdebar dan menimbulkan sensasi panas. Sontak kulirik Kai yang tampak sahdu menikmati mie goreng yang dia pesan.
"Kai, ada pesan masuk dari Rora." Pernyataanku membuat Kai sedikit terlihat terkejut. Dia meraih minuman dan meneguknya sekali. Dia menerima ponsel yang kuulurkan, kemudian Kai meletakkannya kembali di meja.
"Biairin." Dia lanjut makan. Sepertinya tidak terusik dengan pesan itu. "Lanjut main aja." Tapi aku jadi tidak bergairah untuk bermain di ponselnya.
"Mau kemana sama dia?" Tanyaku mengeluarkan kekhawatiranku.
"Engga kemana-mana, kamu enggak perlu mikirin ini, ini sama sekali enggak penting." Dia mengibaskan tangannya santai seakan gadis dibalik nama 'Rora' itu tidak penting sana sekali.
"Kalo enggak penting, aku boleh enggak, enggak ngebolehin kamu pergi?"
Dia menatapku, kami saling pandang cukup lama, Kai tampak terkejut dengan permintaanku. "Al," Dia menatapku hangat.
"Kamu pernah janji mau nonton film sama aku." Janji adalah hutang, kini aku ingin dia melunasi hutangnya, sore ini juga.
"Sayang, nonton film itu bisa kapan-kapan."
"Berarti, yang urusan sama Aurora itu penting. Buktinya enggak bisa kapan-kapan." Itu kesimpulan yang membuat cemburu dalam diriku membesar.
"Alea," Dia meraih tanganku, seakan aku harus memahaminya soal ini.
"Aku pengen ketemu sama Aurora." Kutarik tanganku dari jangkauannya.