[ SUDAH TAMAT, TAPI DIMOHON UNTUK TETAP VOTE YA ]
Ini tentang Kai, Kailanza Ryder Shankara. Si mawar hitam. Cantik, namun mencekik. Ia berduri, ia menyakiti. Manusia baik yang badjingan. Kalimatnya manis, semanis racun yang membunuhku tanpa ampun.
...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Lucu sekali!
AHAHA! LUCU SEKALI!
Aku terus tertawa melihat Kai yang tampak gatal dengan dasi yang melilit kerah bajunya. Beberapa kali dia melonggarkan seakan berniat melepaskan, tetapi kemudian dia urung, di rapihkan lagi oleh Haikal, kemudian di rusak lagi oleh tangan Kai sendiri.
Kai sepertinya membenci benda itu untuk seumur hidupnya.
"Elah, lepas aja napa si! Ngerepotin aja si lo!" Haikal mengomel, ini kesekian kali Kai memerintahkannya untuk membenarkan dasi.
"Enggak boleh."
"Lagian, kaya biasanya aja lo pake dasi." Jeremy si maniak game berkata.
"Can tuh! Atau tar dulu, gue mau ngerjain matematika!"
Aku dapat melihat Kai cemberut. "Ck, ati-ati lho, nanti mati. Matematika itu bikin orang berumur pendek."
"Ck, teori darimana itu?" Ranu menimpali.
"Kakek gue."
Kai menatapku. Aku memerintahkannya untuk mendekat. Cowok itu benar-benar melangkah ke arahku, dia menunduk, berusaha menyamakan tingginya denganku. "Benerin dong." Pintanya.
"Tangannya jangan rese ya!" Keluhku.
"Gatel."
"La, lo punya tiket ke Pluto enggak?"
"Pluto enggak jual tiket. Mana sudi penghuni Pluto menerima mahluk Bumi yang sinting-sinting?"
Aku tergelak mendengar kalimat yang Stella ucapkan. Setelah selesai merapihkan dasi milik Kai, Kai kembali ke kursinya setelah mengacak puncak kepalaku.
"Simulasi punya suami CEO ya?" Tanya Ayu.
"Latihan makein dasi." Imbuh Stella.
Aku tersenyum saja, sedang tidak mood. Mengerjakan matematika saja aku malas, aku sudah berniat menyontek. Biarkan saja Ayu dan Stella yang mengerjakan, aku hanya bertugas menyalin.
★★★★★
"Sayang, hari ini kamu keliatan lemes banget. Are you okay?" Kai membalikkan kursi di sebrang meja ku. Kami hadap-hadapan sekarang, di dalam kelas yang masih cukup ramai.
Kai masih menggunakan dasinya yang kini tampak kedur, hanya saja ujung kemejanya keluar dari celana.
Aku tersenyum mendengar pertanyaannya yang penuh perhatian. "Okay. Cuma lemes aja."
"Belum makan?"
"Udah. Lagi enggak mood aja." Aku menjawab jujur.
"Mau cokelat?" Tawar Kai. Menyadari aku tidak mengeluarkan biar tertarik, dia menawarkan hal lain. "Mau pie?" Pie itu kesukaanku.