Chapter 18

30 2 0
                                        

"Sarapan gue mana nih?" tanya Gandhi saat memasuki ruangan Risa.

"Sudah tersedia di meja Bapak Gandhi yang terhormat," jawab Risa sambil menyiapkan berkas yang akan ia periksa hari ini.

"Wih mantap nih sarapannya, thank you babe," ucap Gandhi mulai memakan sarapan pemberian Risa.

"Panggil-panggil babe sembarangan lo, pacar lo denger ntar nangees," ejek Risa.

"Hahaha, mana ada si Fera cemburu sama lo. Tenang aja kali dia mah santuy," Gandhi masih menikmati sarapannya.

"Awas lo ya kalo sampe berantem gara-gara gue, gue gak ikut campur dan tanggung jawab ye," ujar Risa.

Risa menikmati smoothies yang ia bawa dari rumah dan menunggu Gandhi selesai sarapan.

"Mau kemana lo?" tanya Risa kepada Gandhi yang akan beranjak pergi setelah sarapan.

"Ya mau kerjalah, mau kemana lagi," jawab Gandhi. Risa beranjak dari meja kerjanya dan menghampiri sofa yang berada didekat tempat duduk Gandhi.

"Yaelah, tunggu bentar gue mau nanya. Lagian waktu kerja dimulai 20 menit lagi, rajin banget ya bapak," ucap Risa yang menahan Gandhi untuk tidak pergi.

"Mau nanya apa sih?" Tanya Gandhi.

"Kemarin kenapa lo ninggalin gue sih? Katanya lo mau nungguin gue, terus kenapa lo seenaknya nitipin gue ke Andra. Asal lo tahu ya, kemarin Bang Jamet nyebelin banget tahu. Lo gak ada, gue jadi kurang pasukan buat lawan dia," cercah Risa.

"Kan gue udah chat kalo si Fera minta jemput dadakan, terus pas banget ada si Andra yang mau nungguin lo. Gue percaya dia sih bisa jagain lo dari Bang Jamet, makanya gue cabut aja," jeda Gandhi, "terus kemarin lo diapain sama Bang Jamet?"

Risa menceritakan semua kejadian kemarin kepada Gandhi, mulai dari pulang setelahnya dan kejadian tadi pagi ketika Andra ikut sarapan di apartemennya.

Gandhi berada didalam dua sisi yang penuh kontra. Senang dan sedih, ia senang akhirnya Risa dapat membuka diri kepada lawan jenis dan bisa kembali dengan cinta pertamanya tapi disisi lain ia merasa sedih karena harapan untuk lebih dari sekedar sahabat sudah tidak ada lagi harapan.

Gandhi harus mulai menerima dan mengikhlaskan karena lambat laun hubungan Risa dan Andra pasti akan bersatu. Hal ini sudah tampak jelas, sorot mata antara mereka sudah menjadi bukti jelas. Walaupun sekarang akan penuh pengelakan dari Risa tapi perasaan yang masih terpendam itu tidak bisa ia tutupi lagi.

Mereka cukup lama bercerita hingga waktu kerja tiba. Tanpa sadar rasa nyaman yang sudah tercipta diantara mereka harus dipaksa menjauh seiring waktu karena keadaan yang mengharuskan seperti itu untuk saling menjaga hati.

🌦️🌦️🌦️

Perlahan perasaan trauma yang Risa miliki mulai membaik, hanya beberapa PR besar yang tersisa. Risa harus mulai bisa sering-sering pulang ke Surabaya, karena selama ini Risa jarang pulang ke Surabaya. Perasaan bersalah akan naik ke permukaan ketika ia sering melihat keponakannya. Tetapi, keluarganya selalu membawa anak-anak Lio ke Bandung untuk bertemu Risa, agar Risa bisa berdamai dengan rasa bersalahnya.

Hujan turun mengiringi Risa saat terjebak macet di perjalanan, ketika melihat maps keadaan jalan menuju apartemennya berwarna merah yang menandakan keadaan jalan memang sangat macet. Risa lebih baik mencari café terdekat untuk mengisi perutnya yang kelaparan daripada menunggu dijalan yang entah kapan akan sampai ke apartemen.

Café yang sekarang menjadi tempat mengisi perut Risa ini mempunyai bangunan yang sederhana tetapi menyuguhkan aroma café yang khas dan terasa homey. Risa memilih duduk di dekat jendela yang sedikit terbuka. Aroma Petrichor yang memasuki penciuman Risa membuat ia semakin nyaman dan rileks.

Makanan yang Risa pesan sudah tandas, hanya tersisa minuman yang tinggal setengahnya lagi. Saat menikmati kenyamanan ini, Risa mendapatkan telepon dari Mamahnya.

"Hallo Mah, apa kabar?"

"Hallo sayang, kabar mamah baik, papah juga, kamu gimana sekarang? Kok berisik de."

"Baik juga mah, ini ade masih diluar lagi neduh gitu. "

"Neduh gimana sih de? Bukannya ade bawa mobil ya ke kantor?"

"Maksudnya ade tuh, ade lagi di café nunggu hujan reda dan jalanan gak terlalu macet jadi nyambil isi perut biar sampe apartemen gak usah makan lagi mah."

"Oh gitu de, kirain apa sih bikin khawatir mamah aja. De, tapi beneran kan gak ada apa-apa? Katanya Gandhi kemarin sempet ke Tante Feny lagi?"

"Iya mah kemarin sempet main ke tempat Tante Feny, sedikit healing aja sih mah sambil ngobrol dan lihat perkembangan trauma ade."

"Gimana katanya? It's ok?"

" Ok kok mah, nanti deh lengkapnya ade ceritain ya kalo kita ketemu"

"Kapan kamu ngambil cuti dan pulang ke sini de? Ponakan kamu terus nanyain kamu, katanya kamu susah dihubungi tuh kalo mereka chat atau telepon."

"Hehehe nanti ya mah, nunggu tanggal yang pas biar cutinya lama. Mereka hubungin aku waktu aku kerja jadi enggak ke angkat terus aku kelupaan buat hubungi balik. Sekarang mereka mana mah?"

"Masih bimbel, belum pulang soalnya minggu ini mereka lagi Ujian."

"Aduh udah besar juga ya sekarang, enggak kerasa udah mau masuk SMP."

"Iya sayang, kamu sih jarang pulang makanya gak sadarkan sekarang mereka udah jadi ABG. De, jangan merasa bersalah atau apapun mengenai kakakmu. Itu semua udah takdir jadi jangan kamu pikirin yang aneh-aneh ya."

"Iya mah sekarang ade udah mulai membaik kok, jadi mamah jangan khawatir ya. Mah, ade tutup dulu ya, mumpung udah agak reda ade mau pulang takut keburu malem banget sampe apart."

"Yaudah hati-hati ya de, jangan ngebut dijalannya, kalau sudah sampai kabarin mamah ya."

"Iya mah, love you."

Setiap mamahnya menghubungi, Risa ingin pulang dan memeluk erat mamahnya. Rasa rindu yang terpendam selama ini memang semakin membuncah, tidak bisa dicurahkan apabila tidak dipertemukan karena obat rindu itu bertemu.

Perjalanan pulang Risa sangat lancar, jalanan yang sudah ramai lancar dan tidak terdengar lagi suara klakson membuat jalanan sedikit damai untuk dilewati. Perasaan yang sudah membaik membuat hari-hari Risa sangat ringan untuk dilewati.

***


RETROUVAILLESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang