90°_35

60 9 1
                                    


"Ini beneran rumahnya?" tanya Abel yang kin tampak tak berkedip. Akhirnya Abel yang memulai pembicaraan saat kejadian malam itu Abel dan Jaja terlihat canggung.

"Iya kenapa? Lo gak suka. Gue gak tau selera lo kaya gimana," balas Jaja yang kini berdiri di samping Abel yang sedang menatap ke depan rumah baru, yang akan mereka tempati.

"Bukan gitu. Ini terlalu besar buat kita berdua, ini hampir sama kaya rumah Abel tau gak," balas Abel yang kini tampak matanya mengamati sudut rumah diparkiran.

"Kita gak berdua ada Mbok Mauna yang bakal bantu beresin rumah. Kita kan sibuk sekolah," ucap Jaja.

"Mbok Mauna yang pembantu di rumah Jaja?"

"Iya. Kata Mamah Mbok Mauna udah dipercaya banget sama keluarga gue. Jadi ya... aman."

"Ja. Temen-temen kita kalo tau kita udah nikah gimana? Jaja gak bakal cerai-in Abel kan? Sumpah Ja! Jadi janda adalah hal yang gak pernah Abel pikirin," balas Abel yang kini mencoba mencairkan suasana.

"Jangan ngawur! Gue juga gak mau jadi duren muda," kata Jaja yang kini matanya melirik ke arah Abel.

"Duren? Kok duren. Gak nyambung!" balas Abel yang masih lag.

"Maksud gue duda," ucap Jaja sambil menghembuskan nafas.

"Dan soal teman-temen kita bersikap biasa-biasa aja. Kaya waktu kita gak ada hubungan. Bisa-kan?" lanjut Jaja.

"Iya bisa. Eh kita kan ambil izin di sekolah udah tiga hari. Mereka bakal curiga dong Ja!"

"Besok lo masuk sekolah, gue besoknya lagi."

"Bilang aja malas sekolah," ucap Abel sambil menyipitkan matanya pada Jaja.

"Kalo iya. Kenapa?" balas Jaja terlihat menantang.

"Mulai hari ini. Abel bakal ingetin Jaja biar gak bolos. Biar gak kesiangan. Ngerjain tugas dan banyak lagi, pasti Jaja bahagia percaya deh."

Jaja hanya membalas dengan menghembuskan nafasnya dan melangkah ke dalam rumah.

***

Kini mereka tengah melihat-lihat ruangan yang ada di rumah baru mereka.

Sangat begitu luas dan sangat nyaman apalagi jauh dari keramaian, menjaga jaga jika ada teman-teman mereka yang malah melihat dan curiga.

Apalagi tempat rumah baru mereka yang jaraknya tidak terlalu jauh dari sekolah. Sepertinya Jaja memang sudah memikirkan hal ini.

"Kamarnya lo mau di bawah apa di atas?" Tanya Jaja apa Abel.

"Abel pengen di atas aja. Biar sama kaya pas Abel di rumah dulu, bolehkan." balas Abel.

"Hmm."

"Eh Jaja mau ngapain! Sini biar Abel aja ini gak terlalu berat kok," kata Abel yang kini merebut tas jinjing yang dipegang Jaja.

"Oh yaudah nih."

Tapi tas Jinjing yang memiliki ukuran yang bisa terbilang cukup besar itu memang berat. Dan Abel malah sok jago.

"Cuba angkat!" kata Jaja dengan tatapan yang menantang.

"Hhe iya... Si berat. Ya tapikan tadi tuh kelihatan nya kaya gak berat gitu."

"Yaudah sini. Biar gue aja gak usah sok kuat."

"Iya. Iya."

Jaja baru tau, ternyata Abel itu orang yang selalu memperpanjang segala hal. Jaja selalu malas untuk berbicara hal yang tidak penting.

Tapi entah kenapa dengan Abel, Jaja merasa ada yang berubah. Jaja terus ingin berbicara banyak hal dengan Abel, rasanya menyenangkan meskipun raut wajahnya tak pernah sejalan dengan hatinya.

Jaja suka saat raut wajah Abel yang terlihat kesal, Jaja suka saat mata sipit itu terlihat tajam dan ternyata Jaja suka tentang segala hal yang ada pada diri Abel.

Tapi... Jaja tau, pengakuan cinta itu tidak akan pernah dia ucapkan.

***

Dimulai pagi hari ini semuanya berubah sembilan puluh derajat. Semua menjadi cerita tak terduga untuk keduanya, ya hidup Jaja dan Abel.

Kini Abel tengah memasak makanan sederhana, dengan memakai seragam sekolahnya. Hari ini, dia akan masuk sekolah.

Karena memang Abel belum terbiasa masak sendiri. Dirumahnya pun dia selalu dibantu- lebih tepatnya membantu. Paling hanya mengiris dan mencicipi:v

"Lo ngapain sih?" tanya Jaja karena dia terganggu dengan suara-suara rusuh yang berada di dapur tentunya ulah seorang Abel.

"Ya lagi masak lah Ja," balas Abel yang kini menyodorkan sepiring nasi goreng yang dibuat oleh Abel itu.

"Buat gue?" balas Jaja yang kini duduk dimeja makan.

"Bukan! Buat kucing tuh. Ya iyaa lah Ja pake nanya segala," kata Abel

"Kenapa lo bikin satu. Lo gak mau makan?"

"Abel kalo makan pagi tuh sakit perut."

"Aneh."

"Hmm mungkin perut Abel. Perut orang luar negri, bisa jadi kan Ja?"

"Mana ada."

"Eh Ja. Abel pengen cerita tadi malam Abel tuh mimpi ketemu sama JK diaaa ganteng bangettt tau. Dan di mimpi itu katanya Abel itu adiknya emang si pas mau tidur Abel nge-halu dulu jadi adiknya soalnya kalo punya Abang kaya dia. Istimewa pake banget. Andai jadi kenyataan."

"JK? Nama orang?" tanya Jaja.l yang kini sudah mengunyah makannya.

"Susah si kalo curhat sama yang bukan army. Gak bakal ngerti."

"Terus kenapa curhat sama gue," balas Jaja sewot.

"Ya kan Abel kira Jaja bakal ngerti. Eh menurut Jaja nih yaa.. orang-orang yang kaya ngehina atau kaya gak suka gitu sama idol K-Pop. Gimana?" tanya Abel.

"Ngehina itu hal yang gak baik. Kalau gak suka minimal diem aja selagi gak merugikan, karena kalo benci tanpa alasan, namanya iri." balas Jaja.

"Setuju!! Abel pengen banget deh beli Albumnya.."

"Ya beli."

"Yaaaa tapikan.. harganya mahal Ja!"

"Kali-kali boleh. Jangan keseringan aja."

"Bener Ja? Abel mau beli tuh harus mikir seratus kali dulu. Apalagi kalo ketahuan beli sama Mamah Papah pasti Abel dimarahin."

"Sekarangkan lo sama gue."

"Jadi boleh beli?"

"Hmm."

"Abel jadi pengen nonton langsung ke Korea-nya deh."

"Ngelunjak!!"











Bersambung...











RAJABEL ! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang