Emily dan Marvis sudah tiba di ruang kerja wanita itu. Setelah mengumpulkan bukti baru, Emily menyenderkan punggungnya pada badan kursi sambil sesekali memijit pangkal hidungnya. Marvis meletakkan dua cangkir kopi dan beberapa jenis roti di atas meja Emily yang sengaja dia beli sesaat dalam perjalanan pulang dari sekolah itu.
"Emily?" panggil Marvis.
Emily menatap pria yang sedang duduk di hadapannya.
"Bolehkah aku bertanya satu hal padamu?"
"Mengenai apa?" Emily merubah posisi duduknya.
"Dirimu," ungkapnya. "Apa kau memiliki kekuatan supernatural seperti beberapa orang tertentu?"
"Kekuatan seperti apa?" tanya Emily mengernyit.
"Entahlah. Mungkin seperti berkomunikasi dengan makhluk tak kasatmata atau melihat masa lalu dari seseorang melalui sentuhan tangan," sangkal Marvis.
"Jika aku mengatakan keduanya, apa kau bisa mempercayaiku?" tanya Emily.
Marvis mengangguk. "Jika kau bisa keduanya, itu akan lebih mempermudah kita untuk menginvestigasi kasus ini."
"Mengapa kau sempat berpikir mengenai kekuatan supernatural itu?"
"Sudah cukup lama aku bekerja denganmu sebagai seorang asisten pribadi pengganti Felix. Seiring berjalannya waktu, aku mulai terbiasa dengan sikapmu yang terkadang tidak dapat dijelaskan secara akal sehat," jelas Marvis. "Bukan berarti aku mengatakan bahwa kau gila."
Emily menatap dengan penuh antusias.
"Beberapa waktu lalu, aku tidak sengaja melihatmu sedang asyik berbincang-bincang seorang diri di dalam ruang kerja. Aku sempat berpikir kalau kau memang memiliki kebiasaan seperti itu. Kebiasaan berbicara seorang diri untuk membuat diri menjadi lebih tenang. Akan tetapi, sikapmu tampak berbeda di mana kau memang sedang berbicara dengan seseorang yang tidak terlihat," jelasnya.
"Apa kau merasa takut?" tanya Emily.
"Tidak. Aku percaya kita memang hidup secara berdampingan dengan mereka. Hanya saja, tidak semua orang bisa melihat keberadaan makhluk seperti itu."
Emily mengangguk perlahan.
"Lalu, apa pernyataanku itu benar?"
"Benar," jawab Emily secara lugas. "Aku memang memiliki kemampuan seperti itu. Bahkan sejak aku masih kanak-kanak."
"Dan, apa yang kau lihat dari Victoria setelah wawancara itu selesai?" tanya Marvis. "Aku sempat mendengar kau seperti mengumpat satu kata yang menyatakan bahwa Victoria sedang berbohong."
Emily meletakkan secangkir kopi di atasnya usai menyeruput minuman tersebut. "Perlu kukatakan bahwa dia adalah anak yang pandai berbohong."
"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Marvis penasaran.
"Mereka memang sempat bertengkar melalui pesan singkat di ponsel masing-masing. Bukan karena meributkan perihal warna pakaian mereka untuk datang ke pesta itu. Akan tetapi, mereka meributkan mengenai aksi mereka terhadap Rachel."
"Rachel?" Marvis mengernyitkan dahi.
Emily mengangguk. "Mereka melakukan tindak penganiayaan terhadap Rachel ketika acara pesta di sekolah itu berlangsung namun tidak ada satu pun dari mereka yang berniat menolong Rachel. Para guru juga tidak ada yang melihat kejadian tersebut dan Rachel sendiri tidak mengadukannya ke pihak sekolah."
"Apakah perkataanmu itu berasal dari penglihatanmu terhadap Victoria?"
Dia mengangguk kembali.
"Mengapa?" tanya Marvis heran. "Mengapa Rachel tidak mengadukan hal tersebut kepada guru di sekolah itu?"

KAMU SEDANG MEMBACA
[Completed] TSS [6]: The Secret of Rachel
Mystery / ThrillerDisclaimer! TSS 6 tidak memiliki hubungan erat dengan TSS 1-5, TSS 6 menceritakan mengenai pengalaman tidak terduga yang terjadi pada Emily semenjak dirinya sudah mulai mengambil alih untuk menjadi seorang detektif sama seperti ibunya, Mia. [TONTON...