XLI

40 16 2
                                    

Pada malam harinya di kediaman rumah keluarga Bexley, suasana di ruang makan terasa tegang ketika Rachel melihat nyonya Bexley meletakkan foto-foto polaroid ke atas meja dengan sedikit penuh emosional. Rachel menatap wanita itu tanpa memberikan reaksi sedikit pun.

"Mengapa kau menyimpan foto-foto mereka di dalam kamarmu?" tanya nyonya Bexley. "Ketiga murid ini," tunjuk nyonya Bexley. "Adalah mereka yang sudah meninggal dunia akibat kecelakaan itu, bukan?"

"Benar," jawab Rachel santai.

"Lalu, kenapa kau menyimpan foto mereka? Tolong jelaskan padaku!"

Rachel meletakkan sendok dan garpunya di kedua sisi piring. Dengan cepat, dia meraih foto-foto tersebut lalu merobeknya di hadapan kedua orang tua Rachel. Perlakuan itu sontak membuat nyonya dan tuan Bexley membulatkan kedua mata. Setelah usai merobek foto tersebut, Rachel menatap mereka secara bergantian.

"Apakah sekarang aku tidak memiliki privasi di dalam rumah ini sampai kau membongkar barang-barang yang berada di dalam kamarku?" tanya Rachel.

"Rachel," ucap tuan Bexley.

"Kau juga akan merasa kesal jika ada orang yang melakukan itu, 'kan pa?" tanya Rachel kembali.

Tuan Bexley terdiam.

"Aku berhak mengetahui apa pun tentang dirimu karena kau adalah anakku sendiri!" kata nyonya Bexley kesal.

"Bagaimana dengan satunya?" Rachel menaiki alis kiri perempuan itu.

"Kalian berdua!" Nyonya Bexley menatap mata Rachel. "Kalian berdua adalah anakku!"

"Tidak," tolak Rachel. "Kau tidak benar-benar menganggapku sebagai seorang anak."

Nyonya Bexley yang sudah merasa kehilangan kesabaran, segera menarik kasar tangan Rachel hingga membuat kursi ruang makan hampir terseret. Wanita itu membawa Rachel pergi meninggalkan ruang makan mereka hingga membuat tuan Bexley sendiri merasa khawatir akan pemandangan itu.

Sesampainya di kamar tidur Rachel, nyonya Bexley mendorong kencang anaknya untuk masuk ke dalam kamar dan dia juga ikut masuk lalu mengunci pintu kamar. Dia menatap kesal kedua mata Rachel dengan napas yang memburu sementara Rachel hanya menatap tanpa memberikan reaksi.

"Aku tidak mengerti apa maumu," katanya. "Aku rela meninggalkan duniaku demi mengurusmu, demi memprioritaskanmu, demi melakukan semuanya untukmu sampai kau sebesar ini, Rachel!" Nyonya Bexley menunjuk ke belakang. "Bahkan adikmu—Bennet Junior, jarang sekali aku perhatikan di rumah ini!"

Rachel terdiam tanpa memberikan reaksi apa pun.

Tanpa sadar, nyonya Bexley meneteskan air matanya. "Apa lagi yang harus kulakukan agar kau mau menerima keberadaanku sekarang ini?"

"Mati," kata Rachel perlahan.

Jawaban itu membuat kedua bola mata nyonya Bexley membulat. Bibirnya gemetar seolah masih tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh anak kandungnya sendiri. Sebuah ayunan telapak tangan mendarat tepat di pipi kanan Rachel dengan kencang.

Ya, nyonya Bexley menampar anaknya atas jawaban di luar dugaan itu. Tamparan tersebut terasa sangat nyeri hingga pipi kanan Rachel memerah. Setelahnya, nyonya Bexley keluar dari kamar Rachel dan mendapati suaminya berdiri di depan pintu itu. Tanpa mengatakan sepatah kata, dia pergi berlalu melewati suaminya begitu saja. 

Tuan Bexley melihat ke arah kamar Rachel lalu memutuskan untuk menghampiri anak perempuan itu. Rachel duduk di tepi ranjang bersebelahan dengan ayahnya. Tuan Bexley memegang dagu Rachel untuk melihat bekas tamparan dari istrinya. Dan benar, tamparan itu membekas di pipi kanan Rachel yang memerah. Sembari mengelus rambut anaknya, Tuan Bexley menghela napas perlahan.

[Completed] TSS [6]: The Secret of RachelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang