Negara dengan Sejuta Kebebasan

6 0 0
                                    

Leiden, 11 Januari 2020
Pukul 14.00

Pak Amar dengan gembiranya berkeliling ke Universitas Leiden yang menjadi tempat tujuannya untuk berkuliah S2 (Master) bersama dengan Fahri. Ia pun memulai jalan-jalannya ke tempat ia berkuliah. Amar pun takjub dengan bangunan yang begitu hebat, meskipun bangunan tersebut merupakan bangunan tua tetapi tetap kuat. Ia pun menuliskan pengalamannya tersebut di dalam buku hariannya, bahwa ia lebih sering menulis buku harian di dalam setiap perjalanannya. Fahri pun melihat Amar menulis buku harian tersebut dan terheran-heran dengan dirinya.

"Amar, tumben kamu menulis diari?" tanya Fahri,

"Aku menulis ini, untuk ku tunjukkan kepada murid-muridku. Apalagi komunitas yang barusan aku dirikan" jawab Amar

"Memangnya, komunitas apa yang kamu dirikan?"

"Komunitas untuk anak Sekolah Dasar, namanya Pojok Berpikir"

"Memangnya anak Sekolah Dasar sudah pada berpikir ya?" tanya Fahri,

"Jangan samakan antara generasi manut dan generasi pemberontak" ucap Amar sambil tersenyum,

"Maksudnya generasi pemberontak?"

"Generasi yang mungkin akan membawa perubahan dengan memberontak intelektual"

"Ini pasti Albert Camus lagi kan?" tanya Fahri,

"Mungkin bisa dikatakan demikian, tapi aku yakin mereka akan menjadi generasi yang lebih baik dibandingkan dengan kita"

"Semestinya demikian, apalagi generasi kita terlampau jauh dengan mereka"

"Kira-kira dua belas tahun"

"Bukan angka yang sedikit tapi juga bukan angka yang besar"

Tiba-tiba, telpon dari Amar bergetar, dan ia pun melihat bahwa yang menelponnya adalah Deswita. Amar pun mengangkat teleponnya.

"Halo, Deswita. Ada apa?" tanya Pak Amar, yang di dalam hp nya meminta untuk Video Call

"Halo Pak!" ucap Deswita,

"Hei, Deswita, kalian masih belum selesai Pramuka kah?" tanya Pak Amar,

"Wah! Keren sekali ya Pak di Belanda" ucap Deswita yang terlanjur kagum yang tidak lama setelah itu ada Lia di sampingnya,

"Bapak!, Kapan pulangnya?" tanya Lia yang terkejut juga dengan pemandangan belakang Pak Amar,

"Bulan depan bapak sudah pulang kok"

"Jangan lupa oleh-oleh ya Pak!"

" I can see your thought, Lia"

"Maksudnya Pak?"

"Aku bisa membaca pikiranmu" ucap Pak Amar dengan sedikit tersenyum yang membuat Lia,

"Hehehe, bapak tahu aja yang ada di dalam pikiran kami semua"

"Biasanya, banyak yang begitu kok. Pada saat ada seseorang yang berangkat, pasti pada nitip oleh-oleh"

"Nitip bunga Tulip ya Pak!" ucap Lia,

"Baiklah, nanti saya akan berikan sekaligus untuk menaruhnya di depan kuburan orang tuamu nanti"

"Terima kasih Pak..."

"Deswita, apa saya bisa berbicara dengan Radit?" tanya Pak Amar tentang Radit,

"Radit ada Pak, mau berbicara dengannya?"

"Iya, saya ingin berbicara dengannya" ucap Pak Amar sembari Deswita memberikan hp nya kepada Radit,

"Halo Pak, apakah ada sesuatu yang ingin dibicarakan?" tanya Radit,

"Sebenarnya, ada yang ingin saya bicarakan kepada kamu, Radit"

"Ada apa ya Pak?"

"Apakah kamu memaksa mereka untuk bergabung di Pojok Berpikir?" tanya Pak Amar yang sedikit serius,

"Tidak sama sekali Pak, hanya saja ketika aku menawarkan sesuatu, mereka langsung ikut denganku"

"Begitu kah? Baiklah. Perkumpulan yang kita buat pada dasarnya bukan untuk sesuatu yang dipaksa"

"Baik Pak..."

"Apa kamu merasa keberatan jika Deswita menjadi Ketuanya?"

"Tidak sama sekali, ia pun layak menjadi Ketua karena ia memiliki sesuatu yang tidak aku miliki"

"Kira-kira, apa yang tidak dimiliki darimu oleh Deswita?"

"Aku masih belum tahu apa yang tidak dimiliki olehku"

"Kamu hanya belum menguasai keteguhan hati, Radit" ucap Pak Amar yang membuat Radit pun hanya bisa terdiam,

"Pak! Maaf nih, sepertinya kita akan lanjutkan lagi ya, karena mereka akan bersiap-siap untuk kegiatan selanjutnya"

"Baiklah, Bye-bye" ucap Pak Amar kepada murid-muridnya,

"Bye-bye!" ucap Deswita dan teman-temannya.

Pak Amar pun menutup teleponnya karena mereka memiliki kegiatan tersendiri.

"Murid yang mana lagi itu?" tanya Fahri,

"Rata-rata dari komunitas yang aku bentuk" jawab Amar,

"Ikut pramuka semuanya?"

"Yaa, begitulah"

"Baru kali ini kamu bisa membuat anak-anak pada senang sama kamu, biasanya kamu adalah orang yang paling nggak suka sama anak-anak"

"Itulah yang membuat aku bingung, setelah aku melihat mereka, aku memiliki semangat bahkan spirit untuk mengajar mereka menjadi lebih"

"Pasti kamu mengajarkan Filsafat kepada mereka?" tanya Fahri,

"Itu pasti akan aku ajarkan kepada mereka"

"Apa kamu sungguh-sungguh untuk mengajarkan kepada mereka?"

"Bagaimana pula aku tidak bersungguh-sungguh mengajarkan kepada mereka"

"Bukannya, ilmu tersebut tidak ada gunanya buat mereka yang masih berada di Sekolah Dasar?"

"Setiap dari mereka, anak-anak sekolah Dasar adalah filsuf alamiah. Jadi, bagaimana mungkin aku tidak mengajarkan kepada mereka untuk mencari tahu?"

"Baiklah, aku mempercayaimu, Amar" ucap Fahri yang menutup obrolan serius mereka.

Tak lama kemudian, Fahri pun mengajak jalan-jalan Amar untuk melihat setiap sudut kota-kota yang ada di Belanda. Mereka pun mulai berjalan ke Ibukota Belanda yaitu Amsterdam. Meskipun perjalanan mereka membutuhkan waktu sekitar empat puluh hingga enam puluh menit, perjalanan yang Amar alami merupakan sesuatu yang sangat baru, dan tidak ada sedikitpun ia lewati, meski kantuk sekalipun. Kira-kira lima puluh menit kemudian, mereka sudah sampai di Ibukota Amsterdam. Kali ini, Amar dan Fahri ingin menggunakan sepeda untuk mengelilingi Ibukota.

"Ternyata, udara di sini sangat segar banget" ucap Amar sambil bersepeda,

"Kalau di sini, secara umum di Eropa. Udaranya sangat bersih, apalagi kamu baru pertama kali ke sini"

"Iya, aku merasakan kebebasan di sini"

Amar pun merasakan atmosfer udara yang begitu segar dan membuatnya bersemangat untuk bersepeda. Saking bersemangatnya, Fahri pun tidak bisa mengikuti Amar dari belakang karena begitu laju nya.

"Negeri dengan Sejuta Kebebasan. Iya, itulah Belanda" ucap Amar di dalam hatinya.[]

The Little PhilosopherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang