8. Pernyataan

126 18 10
                                    

Matahari baru saja terbenam, kali ini Arsya diminta untuk pulang lebih cepat karena ini hari spesial untuknya. Ia dan Lidya keluar dari gedung hotel bersama. Setelah Arsya memasangkan seatbelt, Lidya memberikan sebuah kado kecil.

"Selamat ulang tahun, Arsya."

Sang pemilik nama menoleh, tersenyum sumringah. Lidya mengangguk lembut dengan senyuman simpul sebagai isyarat agar Arsya menerima kado.

"Terima kasih, Bu. Bu Lidya selalu mengingat hari ulang tahun saya, tidak setahun pun dalam ingatan saya, Bu Lidya lupa hari ulang tahun saya." Arsya Mengambil dan menatap kado, penasaran apa isinya.

"Ya, tentu saja saya selalu ingat. Saya mau kamu buka kadonya, ya?" Lidya menarik sabuk pemgaman.

Arsya mengangguk, membuka bingkisan. Mulut sedikit terbuka, perlahan matanya membesar, tidak percaya atas hadiah yang diberikan oleh sang bos.

"Saya harap kamu suka."

"Am, Bu, ini jam tangan mahal." Arsya merasa tidak enak hati.

"Sudahlah, Arsya. Eh, apa kamu tidak suka?" Lidya menatapnya sedikit sesal yang terpancar di wajah.

Melihat ekspresi wajah sang bos, Arsya menjawab tegas, "Suka, Bu!" Laki-laki ini terpaksa menarik kedua ujung bibir.

"Syukur deh kalau kamu suka." Lidya menghempaskan napas lega.

"Terlalu spesial, Bu Lidya." Arsya masih ragu, terus memandang jam tangan mahal tersebut.

"Ini hari ulang tahunmu, hari spesial kamu. Sudah, jangan merasa ragu-ragu begitu, terima, ya?" Lidya menyerong, menepuk pelan pundak sang pemuda.

Arysa tertawa haru. Tarikan napas keras terdengar jelas di dalam mobil. Tubuhnya miring ke arah si pemberi kado. "Semua yang Bu Lidya berikan kepada saya membuat saya semakin tak berdaya. Saya sangat beruntung." Ia menatapnya lembut.

Lidya tersenyum merasa bersyukur karena Arsya selalu menghargai barang-barang yang dia berikan. Arsya bisa menangkap bahwa senyuman itu adalah senyuman tulus seperti sosok ibunda yang selalu memberikan aura positif.

Lidya mengajak Arsya ke restoran Korea untuk makan bersama merayakan ulang tahunnya. Memilih private room, keduanya disuguhkan beberapa makanan pembuka sebelum makan malam tiba. Sekian menunggu, makanan khas Korea tiba. Langsung saja menyantap, sesekali mengangguk-angguk nikmat. Saat keduanya tengah menyantap makanan penutup, Lidya mulai mengatakan sesuatu.

"Arsya."

Pemilik nama menatapnya. "Ya, Bu?"

"Saya suka tempat ini karena ini ruang seperti ini, menjaga privasi. Jadi, tidak ada yang lihat kita." Lidya menggerakkan mata mengelilingi ruang kecil itu.

Arsya mengangguk setuju bersamaan senyum.

"Selain itu, sebenarnya ada hal penting yang akan saya bicarakan sama kamu."

"Iya, Bu Lidya?" Kunyahan Arsya terhenti, dahinya mengerut samar.

"Kalau kamu memang serius dengan perasaanmu terhadap saya ... apa kamu mau menikahi saya?"

Mata Arsya membesar kilat, berbatuk. Merapatkan mulut kuat-kuat sekaligus berusaha menahan untuk tidak lagi berbatuk, tetapi masih terdengar dehaman beberapa kali.

Lidya memahami keterkejutan Arsya yang terlihat dari matanya agak memerah. Dia mnjelaskan begitu panjang sekaligus mencurahan semua isi hati.

"Setelah lima tahun kepergian suami saya, saya pernah berhubungan dengan beberapa laki-laki, tapi saya selalu gagal. Salah satu dari mereka hanya mengincar kekayaan, salah satunya dia terlalu menuntut, satunya dia malah selingkuh, satunya main tangan, satunya hanya pura-pura baik.

Kami yang BerdosaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang