29. Tak Tertahankan

143 20 16
                                    

Tengah malam hampir dini hari, Arsya fokus menyetir pada jalan tol menuju Tangerang Selatan. Perasaannya gelisah.

"Mudah-mudahan Clara masih di sekitar sana."

Arsya keluar tol, menuju di mana Clara berada. Tak sia-sia, dua puluh menit berlalu, ia akhirnya melihat mobil Clara, terparkir di pinggir jalan.

Arsya mengetuk pintu mobilnya, tetapi tidak ada Clara. Di sebrang jalan, terdapat tanah luas yang ditumbuhi rumput-rumput tinggi. Tempat yang hendak dijadikan perumahan.

Laki-laki ini tak menyerah mencari Clara. Terlihat di pojok sana, si gadis duduk menekuk lutut. 

Arsya berlari menghampiri. Berdiri di belakangnya berjarak tiga meter.

"Clara, ternyata benar kamu di sini. Ngapain kamu di sini? Bu Lidya khawatir banget sama kamu. Kamu di sini sendiri, bahaya, Clara, bagaimana kalau ada orang jahat apa-apain kamu?" Napas Arsya terengah-engah akibat berlari-lari sedari tadi.

Clara bergeming.

"Clara, kamu ada masalah ap---"

Clara seketika membentaknya, "Lo pergi dari sini! Gue nggak mau lihat muka lo!"

Tersentak, Arsya menarik napas sebanyaknya. "Clara, saya pikir kamu sudah menerima saya sebagai anggota keluargamu, dan kita sudah menjadi teman. Sekarang kamu membenci saya lagi, apa salah saya?"

Arsya menunggu jawaban, tetapi Clara hanya terdiam.

"Saya mohon, kita harus pulang, kalau tidak, saya akan memaksa kamu untuk pulang," Arsya mendekat, "kalau kamu ada masalah, mungkin saya bisa bantu, katakan pada saya."

Hening, hanya terdengar suara sesenggukan. Arsya paham bahwa Clara tak mau menceritakan masalahnya.

"Maafin saya tapi saya harus membawa kamu pulang."

Arsya mengangkat badan Clara. Dibopong paksa di depan dada. Clara memberontak dan memukul-mukul pundak Arsya. Terus memberontak, membuat Arsya tidak seimbang dan terjatuh.

Arsya berada di atas Clara, kedua kepalan tangan menopang berat badan diri agar si gadis tak tertindih. Sekian detik, sekuat tenaga Clara mendorongnya.

Keduanya duduk berhadapan menekuk lutut.

"Mendingan lo sekarang pergi! Gue mau sendiri!"

Arsya menggeleng.

"Gue bilang pergi! Gue nggak mau lihat lo!" bentak Clara lagi.

"Apa kamu benar-benar membenci saya seperti ini?" Kening Arsya mengerut.

"Itu yang gue harepin! Bisa benci banget sama lo seperti dulu!"

Arsya membuka mulut, mencerna perkataan sang gadis. Ia bergeser mendekat, jarak keduanya kini hanya empat jengkal.

Clara menegakkan dagu, menatap tajam lelaki di hadapannya. "Jangan deket-deket gue! Jangan peduliin gue! Lo pergi sana!"

"Clara, kamu ada masalah apa? Kenapa kamu jadi seperti ini?"

Clara menggerung beberapa menit. Menunduk, menyeka cairan kental yang keluar dari hidung. Berkali-kali mengambil napas.

"Gue punya masalah besar yang selama ini gue tanggung sendiri, gue pendem sendiri. Dan sekarang, gue udah nggak sanggup terus nanggung perasaan ini sendiri." Menilik wajah Arsya sekilas, Clara kembali menunduk dan berucap pelan, "Gue cinta sama lo, Arsya."

Arsya membulatkan kedua mata.

Si gadis berusaha menormalkan napas, menarik keras cairan yang menyumbat hidung. "Gue cinta sama lo. Gue setiap saat berharap agar gue bisa kembali benci sama lo, tapi gue nggak bisa. Gue cinta sama lo. Itu masalah terbesar gue."

Kami yang BerdosaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang