44. Remuk

146 28 54
                                    

Seorang wanita paruh baya mengenakan blus biru muda, rambut coklat terang panjang sedada, berjalan di koridor apartemen. Menoleh ke kanan-kiri, memperhatikan angka dan huruf yang tercetak di setiap sebelah pintu. Kakinya terhenti saat melihat tulisan 11L berwarna cokelat keemasan dan sebesar jari kelingking orang dewasa.

Wanita itu menghadap pintu, kedua telapak tangan mulai dingin dan basah. Menghela napas, tangan kanan terangkat dan mengepal. Ketika kulitnya hampir menyentuh pintu, dia merenggangkan kepalan. Lidya menunduk, sekali lagi berpikir bahwa apakah benar-benar siap menghadapi ini. Dia mengangguk mantap, harus kuat dan siap.

Apa pun yang akan terjadi, aku berserah, batinnya.

Lidya mengetuk pintu tiga kali, tetapi kedua penghuni apartemen tidak mendengernya karena tengah tertawa menggelak menonton adegan lucu pada sebuah film. Lidya kembali mengetuk. Mendengar itu, Arsya dan Clara atensinya teralihkan. Clara hendak bangkit, tetapi Arsya mencegatnya.

"Biar saya aja yang ambil," ujarnya.

Tanpa keraguan, Arsya mengira bahwa seorang yang datang adalah karyawan dari apartemen karena ia telah memesan makanan sekitar 10 menit yang lalu. Saat membuka pintu, sekelabat jantung Arsya seperti terlepas, matanya membelalak dan napas terjeda. Sama sekali tidak menyangka bahwa yang datang adalah sang istri.

Sepasang suami istri berhadapan hanya berjarak beberapa kaki. Kesusahan meneguk liur, leher Arsya terasa tercekik. Lidya tetap menatap wajahnya sedari tadi. Meski akan berhadapan dengan kehancuran, tetapi ada rasa puas karena berhasil memberikan sebuah kejutan untuk si suami mudanya.

Begitu banyak pertanyaan dan dugaan dalam benak Arsya. Lidya mengamati sang suami dari ujung kaki yang mengenakan sandal hitam, terlihat kedua jempol kaki melengkung dan menegang karena begitu kuatnya ia menekan insole. Lidya menatap celana pendek hitam yang Arsya kenakan dan kaus oblong putih.

"Bu—Bu Lidya," ucap Arsya terbata.

Lidya bertanya pelan, "Kamu sedang apa di sini? Kaget karena saya sudah pulang dari Korea?"

"Permisi," sapa seorang karyawan restoran.

Lidya melirik ke lelaki yang membawa sebuah nampan. Terdapat dua piring, masing-masing berisi gado-gado. Tersenyum tipis dan mengangguk lembut. Sudah tidak ada keraguan, Lidya memastikan bahwa Arsya memang bersama wanita lain, tentunya masih berada di dalam.

Karyawan laki-laki tersebut matanya bergantian mengerling Arsya dan Lidya. "Permisi, pesanannya," ujarnya lagi. Ia bingung dan canggung menyaksikan pemuda dan perempuan paruh baya yang saling berhadapan dengan tubuh menegang.

Lidya menoleh si pelayan restoran, membaca selembar tagihan yang tergeletak di baki. Menyeringai tipis, kembali memandang wajah Arsya. "Seratus tujuh puluh tiga," ucapnya pelan dengan penekanan di setiap kata.

Arsya menundukkan pandangan. Lidya menyerong ke arah pelayan restoran, memberikan senyuman simpul. Dia membuka dompet dan mengeluarkan dua kertas merah, diberikan kepada si pengantar makanan, kemudian mengambil pesanan Arsya dan selingkuhannya.

"Kembaliannya ambil aja," kata Lidya.

"Terima kasih, Bu," ucap si pelayan restoran sembari mengangguk hormat. Ia meninggalkan mereka berdua.

"Boleh saya masuk?" tanya datar Lidya pada sang suami.

Bibir Arsya berkedut ingin mencegatnya agar tidak masuk, tetapi ia terkelu. Lidya melangkah pelan ke dalam, menaruh nampan di top table yang berada di dekat pintu. Lidya menutup pintu karena Arsya hanya mematung, pandangannya masih lurus ke arah pintu. Sang istri berdiri menghadap ke telinga sang suami, mendekatkan bibir pada daun telinganya.

Kami yang BerdosaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang