34. Terlena

194 19 24
                                    


Hari ini adalah hari spesial untuk  putra sulung Lidya. Para tamu menikmati lezatnya dan banyaknya hidangan yang disajikan. Para waiter sesekali memeriksa prasmanan, memastikan agar nampan selalu terisi.

Sang pemilik rumah tengah bercermin. Rambutnya disanggul modern dengan jepit melati berwarna keemasan. Wajahnya juga telah dipoles oleh make up artist profesional.

Dia mengenakan dress batik berwarna hijau dan krem––dengan model ramping di bagian dada dan lengan, tetapi longgar pada bagian perut ke bawah. Gaun indah tersebut membuat perut Lidya tak terlihat buncit.

Arsya mengenakan blangkon cokelat keemasan dan beskap hitam, motif jariknya sama dengan dress sang istri. Menghampirinya dan memeluk dari belakang.

"Bu Lidya cantik sekali."

Lidya berbalik badan dan memberikan senyuman manis. "Ah, kamu itu gombal terus." Dia mencubit halus hidung sang suami muda.

Bahagia setiap kali ada ucapan manis dari bibir Arsya. Memang akhir-akhir ini Arsya memberikan perhatian lebih untuknya, sebagai lampiasan rasa bersalah atas perselingkuhan yang ia lakukan.

"Nggak, itu fakta." Arsya menggenggam kedua tangannya, mengecup pelan bergantian. Lalu bibirnya mendarat pada kening sang wanita.

"Kita harus bersiap."

Arsya tersenyum dan mengangguk. Mereka berjalan ke tempat pengantin pria. Hampir siap. Lidya menggandeng lengan Kevin. Sedangkan Arsya berdiri di belakang Lidya.

Arsya diam-diam melirik ke segala arah. "Clara mana?" ucapnya dalam batin.

Terlihat Clara berjalan cepat. Arsya mematung beberapa detik, jantung berdebar-debar. Bibir ia tahan kuat-kuat agar tak tersenyum, berjaga sikap agar terlihat biasa saja.

Ia membatin. "Gila! Clara, kamu cantik banget." Arsya menunduk, kesusahan menelan liur. Matanya tetap fokus lurus ke depan.

Begitu juga Clara yang berusaha bersikap biasa saja.

Musik gamelan untuk mengiringi  upacara pengantin telah diputar. Pemandu acara memberitahu bahwa upacara panggih segera dilangsungkan.

Saat rombongan pengantin pria memasuki halaman, beberapa teman Lidya––yang seusianya, malah salah fokus pada lelaki muda yang tak lain adalah suami Lidya.

"Eh-eh ... itu suami Lidya 'kan?" bisik si wanita paruh baya, mencolek lengan si teman.

Wanita yang dicolek melototi Arsya yang berada di jarak sekitar 25 meter. "Eh iya bener. Gila, muda banget. Enggak malu si Lidya, ya?"

Temannya cekikikan sembari menutup mulut dengan telapak tangan. "Ih iya. Kalau saya sih malu sama anak, Jeng."

Si lawan bicara mengangguk-angguk setuju. "Kalau anak saya nikah sama yang seumuran sama saya, nggak ridho saya, nggak rela! Malu, Jeng. Masa punya menantu seumuran, mau taro di mana muka saya?" Bibirnya melengkung bawah, kemudian sudut bibir sebelah tertarik ke atas, sangat menentang hubungan yang berbeda jauh umurnya.

Setelah upacara panggih selesai, Lidya berjalan ke arah para tamu dan menyapa teman-temannya.

Arsya menoleh ke sana ke mari. "Clara mana?" pikirnya.

Clara tengah berbincang-bincang dengan kerabat perempuan. Tidak lama kemudian, Lidya menghampiri dan mengajaknya untuk berkenalan dengan teman-temannya.

Arsya berjalan menghampiri pria yang tengah mengemil dodol, duduk di sebelahnya. "Pak Kemal keren juga pakai pakaian begini."

"Weh iya dong. Kamu lebih keren lah dari saya!" canda si pria yang mengenakan beskap hitam, blankon cokelat, dan jarik coklat.

Kami yang BerdosaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang