Arsya menuntun si gadis bercelana jeans abu-abu, tank top hitam yang dibalut kemeja kotak-kotak tanpa dikancing––dan mengenakan sneaker putih. Clara mendorongnya hingga Arsya mundur beberapa langkah.
Clara melangkah menuju tempat parkir mobil sendiri. Arsya berjalan cepat dan langsung mengangkat tubuh si gadis hingga ke mobil. Sembari menahan tubuhnya, Arsya membuka pintu, kemudian mendudukkan si gadis. Bergegas naik mobil dan memasangkan seatbelt untuknya.
Clara yang tipsy, tersenyum seperti tergelitik. Mengelus kepala dan meremasnya pelan. Helaan napas disertai tawa singkat, membuat membuat Arsya menoleh.
"Gue mau pake mobil gue sendiri!" bentaknya sembari membuka pintu.
"Clara, kamu mabuk. Bahaya buat nyetir, itu nggak boleh." Arsya mengenggam lengannya.
"Gue nggak mabuk, gue masih sadar!" teriak Clara lagi. Matanya yang merah, menatap tajam Arsya dan menyingkirkan tangannya.
"Nggak, Clara, saya sudah suruh Pak Romi buat bawa mobil kamu. Saya dikasih kunci cadangan mobil kamu sama Bu Lidya."
"Kalau gitu gue mau keluar dan gue mau lanjut di dalem, gue mau enjoy di dalem."
Berkali-kali Clara mencoba membuka pintu. "Biarin gue keluar! Biarin gue nikmati hidup gue yang miris!" teriaknya. Masih saja berusaha membuka pintu meski tidak akan bisa.
"Clara." Arsya membalikkan badan si gadis agar berhadapan. Laki-laki ini menggeleng, isyarat agar Clara tak ngeyel.
Sepasang mata lentik menyorot mata lelaki berjaket denim. Sekuat tenaga menahan isak, bibirnya bergetar. "Lo tuh nggak tahu perasaan gue, lo ngerti, lo paham? Lo nggak tahu gimana sakitnya gue! Lo nggak akan pernah tahu! Lo nggak akan pernah paham tersiksanya batin gue!"
Mengerahkan seluruh kekuatan untuk menyingkirkan kedua tangan Arsya yang menggenggam lengan dirinya. Berbalik badan dan memukul kaca pintu. "Biarin gue keluar!" gertaknya mengulang-ulang.
"Clara." Arsya menarik tubuh Clara dan mengembalikan ke posisi semula.
"Lepasin gue!" Tanpa jeda, Clara terus-menerus menampar badan Arsya yang bisa dikenai. "Lepasin gue, gue bilang!"
Menggeleng, Arsya eratkan genggaman pada kedua lengan Clara.
"Udah gue bilang! Lo nggak akan pernah ngerti apa yang gue rasain!"
Arsya menahan napas sekian detik, berusaha menenangkan perempuan yang seperti sedang kerasukan. "Saya memahami perasaan kamu, saya mengerti."
"Gimana lo bisa tahu!" Clara masih saja menyerang. Matanya membesar tak berkedip, menentang Arsya.
Arsya terdiam, lidah terkelu. Ia melepaskan genggaman dari lengan si gadis, lalu berpindah memegang pipinya, kedua ibu jari mengelus pipi dan menyingkirkan air mata yang telah terjatuh. Perlakuan ini membuat Clara mematung.
"Karena saya merasakan apa yang kamu rasakan." Ia menatap lekat Clara.
Napas si gadis tercekat. Hening.
"Karena saya juga mencintai kamu," lanjut Arsya.
Kembali menghirup napas, mengembuskannya panjang. Tak menyangka atas pernyataannya, mulut Clara menganga.
Arsya meneguk liur, beberapa detik menyorot mata sang gadis. "Saya cinta sama kamu."
Tatapannya membuat Clara merasakan kebenaran yang telah Arsya ucapkan.
Tanpa kata, keduanya bertatap. Tak tahan, Clara kembali melepaskan isakan. Menunduk dan tubuhnya melemas. Sebelum roboh, Arsya menangkap dan mendekapnya erat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kami yang Berdosa
RomanceArsya merupakan anak asisten rumah tangga dari keluarga Lidya. Saat Arsya berusia 11 tahun, ibunya meninggal. Lidya sudah berjanji bahwa dia akan menjaga Arsya. Namun, kedua anak Lidya-Kevin dan Clara membenci Arsya, karena menganggap Arsya merebut...