45. Masa Lalu Lidya

126 27 35
                                    

Bayang-bayang pohon dan rerumputan-berada di sebelah timur tampak lebih panjang. Kala itu Lidya masih berusia 17 tahun, tengah duduk di bangku pinggir danau bersama kekasih. Keduanya menikmati cone es krim. Si cowok berusia 19 tahun itu sengaja mengoleskan sisa es krim di sekitar mulut Lidya.

"Novan!" bentak Lidya. Bibir mengerucut kesal dan mata mendelik menatapnya.

Novan seketika beranjak dan terkekeh-kekeh melihat wajah sang pujaan hati yang menggemaskan. Lidya mendengkus, siap membalas keisengan Novan.

"Kejar aku, Sayang, kalau kamu bisa!" Novan berlari kencang, ia bersembunyi di balik semak-semak.

Lidya celingkukan, kehilangan jejak. Berjalan cepat mencarinya, saat di dekat rumput-rumput tinggi, dia terpekik karena Novan membopong dan memutar tubuhnya hingga pusing. Cowok itu menurunkan Lidya. Mereka tertawa menggelak dan sempoyongan. Novan membalikkan tubuh Lidya, tersenyum meledek melihat bekas es krim yang masih menempel di sekitar mulut si gadis.

"Aku bersihin sini." Kedua tangan Novan meraih pipi Lidya, kemudian mendekatkan bibirnya.

Sepasang kekasih itu berciuman mesra, benar-benar dimabuk cinta. Mereka berkencan hingga malam. Saat pulang ke rumah, Lidya mendapati ayah dan neneknya sedang duduk di ruang depan. Tampak cemas, mereka menatapnya penuh harap. Si gadis mengernyit, dalam benaknya penuh tanya juga kekhawatiran.

"Nenek, Bapak ... ada apa?"

"Lidya, duduk." Pria paruh baya itu menepuk kursi kayu, hening sejenak. "Bapak abis nabrak orang sampe kakinya diamputasi. Orang itu minta Bapak buat tanggung jawab dan ganti rugi sepuluh juta ...." Daryo kemudian menjelaskan detail kejadian dan solusinya.

Jika Daryo tidak bisa membayar, maka ia harus mendekam di penjara. Pada tahun 1990-an, jumlah uang tersebut benar-benar besar, apalagi untuk keluarga Lidya yang tergolong rata-rata. Ia sudah meminta bantuan kepada sang bos-Randi. Bersedia menolong Daryo, bersyarat Lidya harus mau menikah dengan Randi.

"Lidya, tolong kamu mau menikah sama Pak Randi," ucap Daryo dengan paksaan untuk kesekian kalinya.

Ayah Lidya bekerja sebagai tukang kebun di rumah Randi. Daryo juga sering mengutang kepadanya untuk berjudi. Beberapa kali Randi melihat Lidya saat membantu sang ayah bekerja. Randi terpesona dan meminta kepada Daryo untuk mempersunting anak perempuannya. Namun, ketika itu Daryo tidak menanggapi serius karena usia Randi sudah paruh baya, sedangkan Lidya masih belia.

"Enggak, Pak! Aku nggak mau nikah sama om jelek perut buncit itu. Aku nanti mau nikah sama Novan," kata Lidya kukuh.

Daryo menggebrak meja, naik pitam karena sedari tadi Lidya terus saja menyebut nama sang pacar. "Novan-Novan terus! Cowok yang nggak jelas kerjanya. Apalagi dia cuma lulusan SD, mau jadi apa nanti kamu sama Novan?"

"Kami bisa kerja bareng dan mulai hidup baru, Pak," ujar Lidya membela Novan.

Daryo mengusap dahi hingga ke belakang kepala sembari menarik napas panjang, mencoba meredakan emosi. "Lidya, seenggaknya kamu ada gunanya jadi anak Bapak. Inget, kamu yang bikin ibu kamu meninggal. Martini meninggal gara-gara ngelairin kamu."

Perkataan sang ayah membuat Lidya menunduk merasa bersalah. Ketika melahirkan Lidya, Martini baru berusia 16 tahun, mengalami pendarahan hebat dan meninggal dunia. Pada tahun 1970-an, masalah ini memang belum dipertegas oleh pemerintah, banyaknya pernikahan dini dan tingginya angka kematian ibu karena persalinan.

"Kamu harus nikah sama Pak Rendi! Jangan bodoh, Lidya, nanti kamu bisa lanjut kuliah, bisa raih cita-cita kamu. Mau jadi dokter, dosen, doktor, apa yang kamu mau, atau bisa nerusin ngurus hotel bersama Pak Randi. Banggain Bapak!" kata Daryo menegaskan.

Kami yang BerdosaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang