40. Berpisah

112 23 26
                                    

Perlahan masa-masa terpuruk Clara telah berlalu. Kini dia menemui Niko di rumahnya yang berada di kompleks kalangan menengah tersebut. Dahi Clara mengernyit melihat koper besar berada di ruang tamu.

Niko memasukkan tangan kiri ke dalam saku, kepalanya miring ke kanan dan menatap Clara. "Lo nggak jadi mati 'kan? Masih aja seksi, ya, meski lo kurusan." Ia tertawa dengan bibir menyeringai.

Si gadis berkedip-kedip cepat dan meneguk liur, cemas dan memikirkan jika ada permintaan Niko yang menyusahkan.

"Gue mau liburan ke Labuan Bajo." Niko melipat lengan panjang hingga ke siku. "Ya ... sebage singa yang udah lepas dari kandang sirkus, gue butuh refreshing. Tapi gue sekalian mau ada proyek di Manggarai."

Clara merapatkam mulut, batinnya bersorak bersyukur atas kabar tersebut.

Niko melangkah lima kaki, membungkuk dan berbisik, "Inget, bukan berati lo bebas dari gue, ya meski gue belum tahu kapan gue balik. Tapi kalo gue balik, lo harus kembali sama gue, kapan pun gue butuh lo, lo harus dateng." Ia kembali berdiri tegak. "Buruan anterin gue ke bandara."

Clara hanya menjawab dengan helaan napas.

Setelah mengantarkannya, Clara segera pulang ke rumah. Lidya menghampiri dan mengajaknya bicara dan menanyakan tentang suasana hatinya.

"Ma, aku udah nggak pa-pa, Ma. Aku udah terima semuanya, kok, kalau dia udah bersama dengan wanita lain."

Selama menceritakan kepada Lidya, Clara selalu menyebutnya 'dia', tak pernah menyebut namanya, dan tentu saja mengarang cerita dengan versi yang Clara buat sendiri.

"Mama pengen tahu, siapa laki-laki yang bikin kamu benar-benar patah hati. Mama pengen liat laki-laki itu. Mama pengen tanya, kenapa dia lebih milih wanita lain dibanding anak Mama yang cantik dan baik ini." Lidya menghempaskan napas, kecewa.

"Mama nggak perlu kepo. Udah masa lalu, Ma, aku nggak mau ungkit-ungkit lagi. Aku udah jauh baikan."

Arsya yang tengah lewat di belakang sana, pura-pura tidak mendengar dan melangkah hati-hati menjauh dari mereka. Ia menemui Chacha--babysitter Keisya yang sedang menimang-nimang Keisha yang sudah 4 bulan. Arsya menggendong putrinya dan berjalan keluar rumah.

Dari kejauhan, Kemal memperhatikan Arsya. Senyum sumringah semakin mengembang. Ia berlari menghampiri.

"Pak," sapa Arsya.

Kemal berbinar-binar seiring senyumnya yang semakin lebar. "Arsya, Pak Kemal pengen banget gendong, apa boleh?"

"Boleh, Pak."

Pria itu menimang-nimang dan mencermati wajah mungil si bayi. Ia mendongak melihat wajah Arsya, mencocokkan kemiripannya.

"Kamu kalah, Ar. Semuanya mirip Bu Lidya." Kemal tertawa meledek dengan candaan. "Biasanya kalau cewek itu mirip bapaknya ... tapi Non Clara juga mirip Bu Lidya, sih."

Sementara Lidya dan Clara sedang membicarakan rencana Clara untuk pergi jauh dari rumah. Ya, dia butuh ketenangan, akan pergi ke sebuah desa di pegunungan. Di sana dia akan tinggal bersama seorang nenek.

Memahami akan kemauan sang putri dan mempercayakannya kepada sang bibi yang tinggal di pedesaan, memiliki perkebunan buah dan sayuran yang luas. Lidya berpikir bahwa tempat tinggal yang masih alami tersebut bisa membuat suasana hati Clara akan membaik.

Seminggu setelah rencana matang, kini semua keluarga berada di teras depan rumah untuk menyaksikan kepergian Clara. Sang sopir siap mengantarkan dan memasukkan barang-barangnya. Clara berpamitan dan memeluk Lidya. Sang ibu mengecup pipi kanan dan kirinya.

Bergantian memeluk Kevin dan Laura, lalu melangkah berhadapan dengan Arsya yang sedang membopong Keisha. Clara mengelus kepala sang adik.

"Kak Clara berangkat, ya, Dek?" Clara menegakkan dagu menatap Arsya sekejap. "Gue berangkat," ucap pelannya.

Kami yang BerdosaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang