3. Rindu Ibu

125 24 19
                                    

Minggu sore ditemani cuaca redup, Kevin dan Clara tengah asyik berenang dengan banyak balon dan ban renang. Arsya datang mengenakan celana renang, bersiap hendak masuk ke kolam. Kevin dan Clara kesusu mendekat ke tepi kolam. Keduanya mendongak menatap benci pada sosok yang tengah bersiap untuk menyebur.

"Heh, ngapain lo ikut-ikutan, kita kan udah bilang berkali-kali, jangan main sama kita!" Begitu kesal, dahi Kevin mengerut, meninju permukaan air dengan kepalan tangan kanan.

"Iya, udah dibilangin ya emang bandel nih anak," kata Clara sinis. Matanya menciut dibarengi bibir mengerut.

Arsya mengatupkan mulut, bingung. "Tadi disuruh sama bu Lidya," jawabnya pelan.

"Udah, pergi-pergi sana!" usir Kevin, menghempas-hempaskan tangan ke arah Arsya.

Arsya menunduk sadar bahwa mereka tidak mau bersama dirinya. Ia berbalik, berjalan masuk rumah.

Eni menghampirinya. "Heh Arsya, lu itu cuma anak pembantu, yang artinya lu juga pembantu di sini. Jadi nggak usah sok-sokan deh main sama anak majikan. Ya mereka nggak level lah, ngaca dong! Mending lu bantu tuh bersih-bersih di dapur!" cibirnya sewot.

Arsya hanya terdiam tidak mau melayani Eni, juga tidak berani. Ia lebih memilih meninggalkan si perempuan dengki.

Waktu demi waktu, Lidya seringkali memberikan perhatian kepada Arsya. Selalu mengajak untuk makan bersama, mengisi makanan di piringnya. Sementara kebencian Kevin dan Clara terhadap Arsya semakin menggunung. Kakak dan adik ini selalu kompak bersikap angkuh terhadap Arsya.

Pagi itu, Arsya berjalan sendiri di koridor sekolah. Semua siswa yang melihat punggungnya, tertawa membaca tulisan 'Aku Semalam Ngompol'. Si anak hanya diam terheran melihat teman-teman mentertawakan dirinya. Clara yang melihat dari kejauhan, cekikikan gembira.

"Rasain!"

Tidak ada puas anak perempuan ini untuk menjahilinya. Saat Arsya sedang berjalan di kelas, sengaja memasang kaki untuk menghalang dan membuatnya terjatuh. Semua siswa tertawa, termasuk Clara yang terbahak-bahak sebelum seorang guru tiba.

Arsya pulang ke rumah, seketika masuk ke kamar. Duduk memeluk lutut, mengingat sang ibu, termenung dan sangat merindukannya.

Eni datang menyuruh Arsya untuk menyirami taman bunga di halaman. Setelah itu, Eni menyuruhnya untuk membelikan kebutuhan Eni di minimarket.

Saat Arsya kembali, Eni melihat raut sedih di wajah Arsya, wanita itu meledek. "Dasar, anak cengeng!" Dia mengambil barang pesanannya di tangan Arsya.

Arsya masuk ke kamar, melamun dan melihat barang-barang kenangan bersama Ibu. Kedua pipinya basah, ia mengelap dengan tangan, terus memandangi foto dirinya bersama ibunda tersayang.

Tidak lama kemudian Lidya masuk, sangat memahami perasaan anak laki-laki yang sangat merindukan sang ibu. Lidya memeluknya dan berharap Arsya akan merasa lebih baik.

Diam-diam, Clara dan Kevin mengintip di balik jendela. Keduanya menyipitkan mata dan memajukan bibir. Cemburu, tidak terima atas kasih sayang yang Lidya berikan untuk Arsya.

Kevin berbisik kepada sang adik. Clara menganguk-angguk setuju atas rencana Kevin. Pada sorenya, dua bersaudara itu tiba-tiba bersikap baik, mengajak Arsya jalan-jalan ke taman kompleks rumah.

Arsya tersenyum senang dan berpikir bahwa mereka mulai menyukai dirinya. Setelah ketiganya sampai di taman, seketika Kevin dan Clara mendorong keras dada Arsya yang membuatnya terhuyung ke belakang hampir jatuh. Mereka menatap Arsya dengan mata membulat penuh.

"Gue udah peringatin lo berkali-kali! Jangan deket-deket sama Mama! Mama itu mama kita! Lo kalo mau mama baru, cari aja sendiri! Jangan rebut mama kita!" bentak Kevin. Laki-laki berusia 13 tahun tersebut kembali mendorong bahu Arsya.

"Iya! Cari aja mama baru sana! Jangan macem-macem sama kita, ya!" sahut Clara. Berkacak pinggang dan bibirnya menyeringai.

"Saya tidak merebut mama kalian," kata Arsya mencoba membela diri. Menatap keduanya dan berusaha meyakinkan.

"Halah, udah jelas-jelas!" Kevin mendekat, mata membesar.

Arsya bergeming, bingung dan takut atas tatapan sengit mereka di hadapannya ini. Kevin dan Clara bersamaan mendorong Arsya hingga tersungkur. Ia tidak berani melawan. Kevin berjongkok, meremas tanah dan melemparkan ke wajah Arsya, begitu juga Clara. Si korban menutup wajah dengan kedua telapak tangan, matanya berkedip-kedip cepat. Beberapa butir tanah telah menempel di matanya.

Puas mencaci dan melempari dengan tanah, dua bersaudara itu berlari pergi dengan kepuasan. Arsya masih mengerjap hingga matanya berair dan memerah, kemudian duduk di ayunan sendiri. Terbengong memikirkan ibunda.

Ibu, Ibu sedang apa di sana? Aku kangen Ibu. Aku sendiri, Bu. Pengen dipeluk Ibu, batinnya.

Merasa sendiri dan kesepian. Sejam berlalu, Arsya pulang ke rumah. Saat melewati gerbang, Kemal si penjaga keamanan rumah—menyapa. Melihat matanya agak sembab, Kemal mengajak bergurau dan menghibur. Ia tahu bahwa Arsya merindukan Winda.

Selain Kemal, Rita juga peduli, kadang-kadang mengajaknya mengobrol. Apalagi Lidya, orang yang paling memperhatikan Arsya, selalu membantu dan membelikan barang-barang yang Arsya butuhkan.

Saat Lidya pulang dari hotel, dia memberikan baju baru untuk Clara dan kevin. Lidya memeluk dan mencium pipi mereka dengan kasih sayang. Setelah kedua buah hatinya tersenyum senang, Lidya mencari Arsya.

Mengetahui demikian, senyuman kakak beradik seketika luntur, kembali cemburu pada sosok yang sangat mereka benci. Lidya berjalan ke kamar Arsya. Dari belakang, Eni diam-diam mengikutinya dan mengintip.

"Bu Lidya ini apa-apaan sih, Arsya kan pembantu sama kayak gue, tapi berlebihan banget manjain Arsya. Anak sama ibu sama-sama selalu caper," gerutu pelan Eni. Tatapan sengit dan seringai di bibir menghiasi wajah.

Eni teringat saat pertama kali Winda datang ke rumah. Lidya yang selalu bersikap hangat dan begitu dekat dengan Winda, bahkan sering belanja bersama dan jalan-jalan bersama.

"Arsya, ini buat Arsya, ya? Semoga kamu suka." Lidya memberikan baju baru.

"Terima kasih, Bu Lidya."

"Jangan murung terus, ya?"

"Iya, Bu." Arsya mengangguk.

"Ya sudah, Bu Lidya mau mandi dulu. Nanti ikut makan malam, ya?"

Lidya pergi. Arsya kembali murung, menekuk kedua mata kaki dan meringik.

"Ibu, Ibu sedang apa? Aku kangen sama Ibu, kenapa sudah lama dada aku sering sakit, Bu? Aku mau dipeluk Ibu, aku mau mengobrol, dan makan bersama Ibu. Aku benar-benar kangen, Bu. Sampai kapan aku akan terus merasa sakit di dada seperti ini, Bu?

"Aku mau sama Ibu, Ibu yang selalu menyayangi aku, peduli, Ibu yang selalu baik sama aku. Seandainya aku bisa melihat Ibu, sebentar saja, Bu, aku ingin dipeluk Ibu. Bu, badan aku tidak ada yang terluka atau berdarah, tapi kenapa sakit sekali, Bu?" Arsya membenamkan wajah di kedua mata kaki.

Kami yang BerdosaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang