36. Menjadi Ayah

162 19 18
                                    

Jadwal operasi caesar Lidya akan segera dilaksanakan. Dia berbaring di ranjang pasien. Arsya duduk di samping, mengenggam telapak tangannya. Senyum merekah, mereka menantikan buah hati yang tidak lama lagi akan dilahirkan.

"Saya ingin cepat-cepat lihat anak kita, akhirnya nanti malam kita bisa menggendong dan memeluk anak kita," ungkap Lidya, wajahnya terus memancarkan kegembiraan.

"Iya, Bu Lidya." Arsya mengelus telapak tangannya, memberikan senyuman penyemangat.

Suara ketukan pintu, membuat keduanya menoleh. Seorang gadis mengenakan celana jeans dan kaus putih––membuka pintu, setelah Lidya mempersilakannya.

"Clara ...." Lidya menyapa sang putri.

Arsya menaruh kursi di sebelah ranjang, agar Clara duduk berdekatan dengan sang bunda. Arsya mundur dan duduk di sofa.

"Mama siap?"

"Siap, Sayang. Kamu siap punya adik?" tanyanya diakhiri tawa halus.

"Ya, Ma. Selamat ya, Ma."

Kevin dan Laura juga tiba.

"Kevin, Laura, sini kalian," sapa Lidya.

Kevin dan Laura berdiri di sebelah ranjang.

"Gimana keadaan Tante sekarang, deg-degan?" tanya Laura. Perempuan berambut coklat terang, panjang dan berombak. Mengenakan celana ketat berwarna krem, dan blues abu-abu.

"Baik, dong. Deg-degan, sih, tapi seneng," ucap Lidya bersemangat.

"Kevin seneng deh kalau Mama seneng." Kevin menghempaskan napas, menyeringai tipis.

"Loh, kok kayak nggak niat begitu, Kevin," kata Lidya yang melihat ekspresi wajah sang anak.

Kevin mengelus tengkuk. "Bukan gitu, Ma. Aku ini udah dewasa gini, udah nikah, masa punya adek kecil. Kek gimana gitu." Tertawa singkat disertai helaan napas.

"Loh ya nggak apa-apa, mudah-mudahan kalian juga cepat dapat momongan," pungkas Lidya, meledek sekaligus merayu agar Kevin dan Clara tidak menunda untuk memiliki momongan.

Tertawa terpaksa, Kevin menggeleng. "Ah, aku belum mikirin pengen punya anak, Ma. Masih belum mau ribet, ah."

Laura berdecih dan menyenggol pundak Kevin, tidak setuju dengan perkataan suami.

Dokter dan para perawat datang untuk membawa Lidya ke ruang operasi. Sang suami diizinkan untuk menemaninya.

Saat operasi  berlangsung, tenggorokan Arsya terasa kering dan kesulitan menelan liur. Jantung berdetak lebih kencang, terbayang-bayang pengkhianatan dan dosa yang ia lakukan.

Ia bisa mendengar jelas suara detak jantung sendiri yang semakin kencang. Arsya membuka mulut, menarik udara sebanyaknya dan mengembuskan perlahan.

Akhirnya bayi perempuan dalam genggaman dokter, memperlihatkan buah hati mereka. Sepasang suami istri tersebut tersenyum berbinar-binar.

"Keisha," ucap Arsya.

Setelah proses demi proses, Lidya dipindahkan ke ruang inap. Ayah muda itu menatap wajah bayi mungil yang berada di inkubator.

Bibir Lidya memutih dan tubuhnya menggigil. Arsya yang menyadari demikian, segera memberikan tambahan selimut. Menggosok-gosok telapak tangan, setelahnya ia menggenggam tangan sang istri.

Pandangan Arsya beralih ke sang istri yang tertidur. Menunduk dan kembali meratapi kesalahan diri. Wajah dan kepala memanas. Ia bangkit dan berjalan ke kamar kecil.

Rasa takut cemas, berdosa, dan penyesalan--membuat tubuhnya melemas. Ia meletakkan lengan kanan pada tembok dan menyandarkan dahi.

Aku ini laki-laki macam apa? Ibu, aku memang nggak tahu diri. Aku melihat sendiri proses kelahiran anak aku, Bu. Aku benar-benar merasa bersalah, aku ini laki-laki kejam yang tega mengkhianati Bu Lidya. Ibu, sekarang aku seorang ayah, ucapnya dalam hati.

Kami yang BerdosaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang