Hari demi hari, Arsya dan Clara semakin terlena dengan perbuatan terlarang itu. Meskipun tahu itu salah, tetapi tetap melakukannya. Arsya buru-buru keluar kelas, senyuman bahagianya terpancar. Ia berjalan cepat, kemudian berlari.
Rifki menghampiri dan menyapanya. "Woy, lo buru-buru amat mau ke mana?"
Arsya terhenti, berdeham dan memudarkan senyum. Mengiringi kecepatan langkah kaki Rifki. "Ya, mau kerja."
"Oh. Tadi muka lo kek seneng banget."
Hanya meresponnya dengan tawa, Arsya bergegas menemui Clara di sebuah taman. Di sana, si gadis sudah menunggunya, tengah duduk di bangku. Matanya berpusat pada ponsel, melihat postingan pada sosmed untuk menghilangkan kejenuhan.
Tidak lama kemudian, melihat Arsya tengah berlari mendekat. Clara tersenyum senang, memasukkan telepon genggam ke dalam tas kecil. Arsya duduk di sebelah, napasnya terengah-engah setelah berlari dari tempat parkir.
"Kamu lama nunggu?"
"Lima belas menit." Clara mengangguk paham akan kesibukannyan. "Gue ngerti, kok."
"Saya sudah berusaha cepat."
Setelah napas Arsya kembali normal, ia beranjak, mengulurkan tangan––mengajak si gadis dan menggenggam tangan kanannya. Mereka berjalan pelan menyusuri taman rekreasi tersebut. Tidak terlalu ramai.
Sepasang kekasih gelap itu menyandar pada pagar. Memandangi danau dan ladang berumput tinggi. Angin berembus membuat rambut panjang Clara berkibar. Arsya meliriknya dengan senyuman terpana.
Mereka berjalan ke sebuah kolam yang dipenuhi ikan-ikan kecil. Melipat celana jeans hingga lutut, lalu keduanya duduk dan memasukkan telapak kaki ke dalam kolam.
Tertawa geli ketika ikan-ikan kecil menggerumuti kaki mereka. Puas bermain bersama ikan, keduanya mampir ke kedai es krim. Arsya memesan eskrim stroberi, sedangkan Clara memilih matcha.
Ingin mencoba satu sama lain, mereka saling menyuapi.
Arsya mengangguk pelan. "Enak juga."
Beralasan sibuk dan banyak tugas, Arsya berpamit pada sang istri bahwa ia tidak bisa ke kantor, tetapi berjanji akan menemaninya ke dokter––malam nanti. Kini ia malah asyik bergurau bersama Clara di dalam mobil.
Arsya membeli gorengan kepada penjual yang lewat. Ia dan Clara menonton film pada layar laptop sembari menikmati camilan.
Saat terbahak-bahak karena melihat adegan lucu, ponselnya bergetar, sebuah pesan masuk dari istri sahnya. Keduanya seketika terdiam.
"Ada apa, Arsya?"
Arsya menatap Clara––setelah membaca pesan. "Saya harus pulang, saya sudah janji sama Bu Lidya. Saya bakal nemenin USG malam ini," ucapnya. Ia meletakkan plastik berisi gorengan di pangkuan Clara.
Kedua bahu merosot dibarengi embusan napas panjang dan pelan. Kecewa, tetapi Clara tahu bahwa tak ada hak demikian. Dia mengangguk paham.
Arsya mengecup lembut keningnya sebelum keluar mobil. Mata lentik si gadis berfokus menatap punggung Arsya. Laki-laki itu berjalan cepat hingga akhirnya berlari.
Dari jarak 50 meter, Clara melihatnya memasuki taksi. Dadanya terasa tersayat. Dia rapatkan mulut erat-erat, tetap menahan agar tak ada air mata yang keluar. Kebahagiaannya hanya sesaat saat bersamanya.
Clara, inget, Arsya bukan milik lo. Lo di sini sebagai pelakor dari mama lo sendiri, batinnya.
Dia menyingkirkan plastik berisi camilan, menaruhnya di kursi bekas Arsya duduk. Gorengan yang tadinya nikmat, kini tak lagi membuatnya napsu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kami yang Berdosa
RomanceArsya merupakan anak asisten rumah tangga dari keluarga Lidya. Saat Arsya berusia 11 tahun, ibunya meninggal. Lidya sudah berjanji bahwa dia akan menjaga Arsya. Namun, kedua anak Lidya-Kevin dan Clara membenci Arsya, karena menganggap Arsya merebut...