19. Tersesat

140 23 17
                                    

Clara tertinggal beberapa meter di belakang Arsya. Segera Arsya berbalik dan menarik paksa tangan kanan Clara. Terus berlari. Terhenti, jelalatan, Arsya melihat ke bawah, matanya melebar dengan harapan untuk dijadikan persembunyian. Kedalamannya tak lebih dari tiga meter. Arsya menatap Clara, memberikan anggukan isyarat mengajak untuk menuruni tanah.

"Gue takut," bisik Clara, melihat turunan yang tampak tidak aman untuk dituruni.

Arsya melempar pisau ke bawah sana. Memaksa Clara dengan mendekap, membaringkan tubuh diri bersamanya. Mereka menggelinding. Arsya merayap bersama Clara, bersembunyi dalam semak-semak.

Clara melihat cacing tepat di hadapan wajah. Kedua mata membulat. Arsya yang menyadari sekaligus takut jika Clara berteriak, langsung membungkam mulut Clara dengan tangan, kemudian menyingkirkan makhluk kecil itu.

Arsya dan Clara mendengar suara seperti langkah kaki dari atas. Clara gemetar dan berkeringat, air mata ketakutannya merembes. Arsya hanya fokus memperhatikan sekitar.

Setelah tidak mendengar apa-apa dan merasa keadaan sekitar sudah aman, ia melepaskan tangan di mulut Clara, lalu mendongak.

"Gue takut banget. Please, kalau gue mati, bilangin ke Mama kalau gue sayang banget sama Mama," kata Clara lirih dan panik.

"Sudah, kita pasti akan selamat," ujar Arsya yang optimis.

Arsya tetap waspada melihat sekitar dan atas. Sekian menit, keduanya duduk menekuk lutut.

"Sepertinya mereka sudah benar-benar pergi." Arsya berdiri, melangkah beberapa kaki untuk melihat sekitar. "Ayo kita pergi dari sini."

"Ke mana?"

"Saya lihat di bawah sana ada sungai. Saya haus, kamu pasti juga haus 'kan? Kita harus minum." Tak lupa, Arsya memungkut pisau yang tergelak yang tadi dilemparnya dari atas.

"Maksud lo, minum air sungai?" ringik Clara.

"Iya."

"Nggak steril, ntar bikin gue mencret." Clara mengelus-elus perut.

"Tidak ada pilihan sekarang, masih untung ada sungai, kita masih bisa minum. Kalau kita tidak minum, kita bisa dehidrasi, halusinasi dan ya...." Arsya mengedikkan bahu, enggan melanjutkan karena tak ingin menakuti Clara.

Clara ragu. "Gue ...."

Arsya menuntun Clara, membantunya sampai di pinggir sungai. Telapak tangan Arsya menyatu untuk mengambil air. Clara melongo ketika melihat Arsya meminum air sungai. Si gadis ragu-ragu, tetapi Arsya terus mengajak dan meyakinkannya hingga  dia terpaksa minum.

Arsya berjalan ke lereng untuk memotong dahan pohon. Untung saja pisau yang ia pungut itu tajam dan berguna. Sementara Clara hanya duduk memandangi sungai.

Arsya kembali. Melepaskan jaket, sepatu, kaus, dan celana jeans. Laki-laki itu mencari ikan dengan kayu runcing seperti tombak.

Clara sedari tadi hanya bosan melihat Arsya yang tak kunjung menyerah. Lima belas menit berlalu, Arsya belum mendapatkan apa-apa.

"Dasar! Lo kira jaman apa ini, nangkep ikan pake gituan, emang bisa? Dah berapa lama tuh orang cari ikan? Nggak dapet 'kan? Terus aja cari sampe kucing bertelor. Goblog," umpat Clara. Berbaring miring, bersibuk diri dengan pikiran.

Saat pandangan kembali ke arah Arsya, Clara melihatnya mendapatkan beberapa ikan. Kening si gadis mengerut, tak menyangka bahwa masih ada ikan di sungai tersebut.

Arsya berjalan ke arahnya, mencari korek di saku celana. Ia pergi untuk mencari ranting-ranting dan dedaunan kering untuk membakar ikan.

Setelah ikan matang, Arsya memberikannya untuk Clara.

Kami yang BerdosaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang