Hari Minggu pagi, seorang ibu dan kedua anaknya tengah bermain di taman rumah. Mereka saling lempar bola besar diiringi tawa karena terkadang mengenai wajah satu sama lain. Sementara anak laki-laki berkaus cokelat dan celana pendek selutut, mengintip mereka di balik pilar kokoh bercat putih. Kedua matanya berkaca-kaca, mengingat ibu tercinta."Ibu." Araya meringis, meremas dada yang terasa sesak dan perih
Ia membayangkan saat sang bunda masih hidup. Waktu itu, Arsya masih berusia delapan tahun, menggambar dirinya dan Winda, kemudian memberikan gambar tersebut kepada Ibu. Kertas A4 yang digores pensil berwarna-warni bergambar sepasang ibu dan anak yang sedang bergandeng tangan, senyum menghiasi wajah keduanya di sebuah rerumputan. Senang hati Winda menerima dan memandangi gambar.
"Wah, ini bagus, Sayang," ujar kagum si wanita berambut panjang sepusar yang diikat dekat tengkuk.
"Ini yang kurang apa, ya, Bu?"
Winda kembali mengamati lukisan. "Ini sudah bagus, Sayang," ujarnya bangga sekaligus memuji.
"Aku mau, Ibu sama aku selalu bersama," kata Arsya.
"Tentu toh, Ibu sayang banget sama Arsya. Ibu beruntung punya Arsya." Ibu satu anak itu merangkul dan menyandarkan kepala sang putra pada pundak dirinya.
Hubungan Arsya dan ibunya memang begitu dekat karena Winda selalu memberikan kasih sayang sepenuhnya, mendidik, dan memanjakan. Apalagi Arsya hanyalah milik Winda sekaligus keluarga satu-satunya.
"Aku juga sayang banget sama Ibu."
Arsya tersadar dari bayangan, ia mengelap kedua pipi dengan kedua telapak tangan.
Lidya tidak sengaja menoleh ke belakang dan melihatnya, lalu berjalan menghampiri. "Arsya, ayuk main sama mereka."
Arsya terdiam bimbang.
Lidya mengajaknya lagi dan merangkul. "Ayuk."
Arsya masih ragu. Lidya menuntunnya untuk bergabung dengan Kevin dan Clara. Mereka bermain bersama, membuat Arsya sedikit tersenyum dan terhibur. Ternyata, dari belakang sana, Eni-pengasuh Kevin dan Clara, terus memperhatikan Arsya dan tidak suka melihat perhatian yang diberikan oleh Lidya kepada anak laki-laki itu.
"Dasar anak cengeng, manja," gerutu si perempuan berusia 38. Berdecak memandang sinis pada Arsya.
Sejak Winda bekerja di sana hingga sekarang, masih saja tidak suka kepada Arsya dan Winda yang bahkan sudah tiada. Dengkinya membuat Eni provokasi Kevin dan Clara untuk membenci Arsya. Saat Lidya pergi, Eni memanggil Kevin dan Clara.
"Kenapa Mbak?" tanya Kevin, mengernyitkan alis.
Eni menutup bibir diri dengan jari telunjuk. "Syut, kalian harus hati-hati sama Arsya," bisiknya.
"Kenapa memangnya?" tanya pelan Clara. Gadis berusia 10 tahun, rambut panjangnya dikuncir kuda.
"Arsya itu sama aja kayak ibunya, selalu cari perhatian sama mama kalian. Nanti, Arsya bakal merebut mama kalian," ujar pelan Eni. memperhatikan sekitar, lalu memandang dengki ke arah Arsya yang tengah menyirami tanaman.
"Masa, sih, Mbak?" tanya Clara ingin memastikan dan juga khawatir.
"Kalian percaya sama Mbak." Eni terus meracuni pikiran kakak dan beradik tersebut.
Eni tidak membiarkan jikalau Kevin dan Clara sampai bersimpati kepada Arsya. Hari-harinya selalu berusaha menjauhkan mereka dari Arsya. Dia selalu berhati-hati agar Lidya tidak mencurigai.
Minggu sore ini, Kevin dan Clara duduk di sofa sedang bermain playstation. Arsya duduk di lantai dan melihat layar televisi. Lidya datang menghampiri Arsya dan memberikan nintendo untuknya. Arsya seketika membulatkan mata dan tersenyum merekah, tetapi ragu-ragu untuk menerima hadiahnya. Kevin dan Clara menjeda permainan, kini pandangannya beralih fokus melihat sang mama dan Arsya.
"Ini, biar kamu juga bisa main game. Kamu duduk di sofa, ya? Jangan di lantai seperti ini," kata Lidya, dagunya menunjuk sofa.
Arsya memberikan senyuman hormat kepada Lidya, lalu mengamati nintendo barunya. "Ini bagus banget, Bu Lidya, wah." Anak itu mengagumi nintendo dengan wajah gembira yang terpancar.
Arsya, semoga perlahan kamu tidak terlalu bersedih dan memikirkan Winda, batin Lidya.
Kevin dan Clara saling menatap, sudut bibir terangkat ke atas bersamaan. Bibit dengki mulai tertanam.
"Terima kasih banyak, Bu Lidya," ucap Arsya.
Lidya berjongkok dan memeluk Arsya, sementara Kevin dan Clara mengerucutkan bibir. Perhatian demi perhatian yang diberikan oleh sang ibu, membuat dua bersaudara tersebut semakin merasa tersaingi.
Kevin dan Clara kembali cemburu. Saat Lidya pulang dari kantor, membawa bingkisan. Menghampiri kedua anaknya yang sedang menonton kartun anak-anak dan memberikan bingkisan itu. Kevin dan Clara bersemangat menerima hadiah.
"Ye!" Kevin membolak-balik bingkisan berisi mobil-mobilan berremot.
"Asik!" Clara menyahut, langsung membuka bingkisan yang berisi boneka Teddy Bear yang besarnya setengah badan darinya.
"Arsya mana?" tanya Lidya celingukan.
Kakak dan adik kompak saling menoleh dan bertatapan, Kevin mendecik, adik perempuannya menjuling malas.
"Enggak tahu, Ma," jawab Kevin ketus, menaruh bingkisan di sebelah. Rasanya sudah enggan untuk membuka hadiah.
"Kok tidak main sama kalian?" tanya Lidya penuh harap.
"Ya, biarin aja, Ma," sahut Clara bersamaan memutar bola mata.
"Kalian jangan begitu sama Arsya. Arsya kan teman kalian," ujar Lidya menasihati dengan lembut.
Kevin dan Clara hanya terdiam dengan bibir mereka yang semakin mengerucut. Lidya kemudian mencari Arsya, membawa bingkisan. Berjalan menuju kamar para pembantu, masuk ke kamar Arsya. Lidya melihatnya sedang menekuk lutut, deraian air mata membasahi pipi. Seketika perempuan itu duduk di sampingnya.
"Loh, kok kamu sendiri di sini, tidak main sama Kevin sama Clara?"
"Bu Lidya," Arsya mengelap air mata dengan telapak tangan, "enggak Bu, saya lagi mau sendiri di sini."
"Jangan terus nangis, ya? Ini Bu Lidya ada hadiah buat kamu." Lidya menyodorkan paper bag besar.
"Terima kasih, Bu Lidya." Arsya menerima bingkisan, tersenyum hormat.
Lidya mengelap air mata Arsya dan memeluknya. "Saya tahu, kamu pasti kangen sama Ibu, tapi ingat, ibumu tidak suka, beliau akan bersedih kalau melihat kamu seperti ini. Kamu harus kuat. Ibumu akan bahagia kalau kamu bahagia. Kalau ada apa-apa atau butuh sesuatu, katakan saja sama Bu Lidya, ya?"
Arsya mengangguk pelan.
Di ruang bermain, Eni sedari tadi sudah provokasi kakak beradik yang membuat mereka semakin dengki kepada Arsya.
"Tuh, kan, apa Mbak bilang, bener 'kan? Arsya itu mau merebut mama kalian. Sekarang Bu Lidya lagi di kamar Arsya tuh, lagi kasih hadiah, mana hadiahnya lebih bagus dari punya kalian," ucap Eni diakhiri bibir melengkung ke bawah. Rasa tidak suka terhadap Arsya terus mendarah daging.
"Pokoknya kita enggak akan biarin Arsya merebut Mama!" cecar Kevin. Matanya membulat dan menaruh ancaman.
"Bener, Kak Kevin," sahut Clara. Bersidekap dan membenci sosok yang tengah mereka bicarakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kami yang Berdosa
RomanceArsya merupakan anak asisten rumah tangga dari keluarga Lidya. Saat Arsya berusia 11 tahun, ibunya meninggal. Lidya sudah berjanji bahwa dia akan menjaga Arsya. Namun, kedua anak Lidya-Kevin dan Clara membenci Arsya, karena menganggap Arsya merebut...