18. Terjebak

172 27 11
                                    

Arsya dan Clara tergeletak, mata terpejam. Tubuh mereka berjarak antara dua meter. Clara memegang kepala yang pusing. Telapak tangan kiri berdarah, celana jeans tergores hingga terlihat mata kaki kanan yang mengalir darah. Lemas tak karuan, Clara merintih.

Tubuhnya serasa remuk, Arsya masih memejam erat dan belum bisa bangkit. Mengernyitkan kening kuat-kuat. Setelah menormalkan napas, perlahan membuka mata, melihat pohon-pohon besar yang menjulang.

Arsya memeriksa darah yang keluar dari siku akibat tergores batu dan ranting. Beberapa saat kemudian, berbalik badan dan bangun pelan-pelan untuk menghampiri Clara yang tengah meringkuk.

"Clara, apa kamu baik-baik saja?" Agak khawatir melihat Clara yang terkapar tak berdaya. Berjongkok, menatap punggung Clara.

Sekian menit, Clara belum bisa menjawab, hanya terdengar suara rintihan.
"Baik-baik gimana! Tangan sama kaki gue sakit, berdarah nih, badan sakit semua, goblog!"

Clara mendesis kesakitan. Memiringkan badan, mengepal mata kaki kanan. "Lo tuh emang pembawa sial! Coba kalo gue bonceng Kak Kevin, pasti nggak bakalan apes gini!" lanjutnya marah.

Gadis ini masih terbaring miring, tubuhnya butuh waktu beberapa saat untuk bisa bangun. Kembali memejam erat merasakan sakit di seluruh tubuh.

"Masih untung kita tidak ada luka yang serius dan jurangnya bukan jurang yang mematikan," tutur Arsya. Mendongak, melihat tingginya tebing.

"Argh! Apaan sih lo, lihat sekarang! Kita di mana coba! Kita tergelinding sedalam ini. Kita nggak bakalan bisa manjat ke atas dari sini!" bentak Clara. "Argh!" Kembali meringis kesakitan.

Arsya mengambil sapu tangan dari saku celana, mengikatkan di tangan Clara yang terluka. Gadis itu mengerutkan dahi.

Setelah membaik, Clara duduk. Kedua tangan menggerayangi tubuh yang pegal, linu, dan lecet. Arsya duduk meluruskan kaki, lalu memijat-mijat.

"Mama!" rengek Clara.

"Mudah-mudahan mereka bakal nemuin kita di sini," jawab Arsya was-was.

Mereka duduk bergeming dalam belasan menit. Hanya terdengar embusan napas dan suara burung. Bibir Clara yang mengerucut terus digerakkan ke kanan kiri, enggan menatap si lelaki di samping berjarak sekitar tiga meter.

Arsya berdiri, berjalan sekitar mencari jalan untuk bisa naik ke atas, tetapi tak menemukan. Hujan mulai turun, Arsya mengajak Clara untuk mencari tempat berteduh, hingga mereka menemukan pohon besar, segera berlindung di sana.

Clara berkeluh, "Ma, laper."

Arsya mengusap rambut, hanya bingung melihat Clara yang berkesah. Arsya melangkah.

"Hey! Mau ke mana?"

"Cari makan sekitar sini. Siapa tahu ada yang bisa dimakan." Arsya celingak-celinguk.

"Gue takut sendiri."

Clara mengikuti ke mana pun Arsya pergi. Tak terasa sudah sejam mereka berjalan, tetapi tak juga menemukan sesuatu yang bisa dimakan sesuai sepengetahuan Arsya.

Clara semakin mengeluh dan hanya bisa menaik-turunkan bahu. Terpaksa mengikuti langkah kaki Arsya.

Si lelaki melihat sebuah pohon buah. Tersenyum, menghampiri dan memetik beberapa buah. Ia tawarkan kepada cewek manja itu.

"Ini belum matang, rasanya asam sepat." Arsya menggigit buah tersebut, refleks mata sebelah terpejam beberapa detik.

"Aduh!" keluh Clara. Menatap buah yang berada di telapak tangan Arsya.

"Ini sudah sangat bersyukur bisa menemukan buah di hutan seperti ini." Arsya kembali menggigit buah.

Clara melirik laki-laki di sampingnya itu menikmati buah kopi anjing yang masih hijau.

Kami yang BerdosaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang