50. Berusaha Membuka Lembaran Baru

137 28 40
                                    

Angin berembus di tengah malam sunyi, hanya beberapa bintang yang terlihat. Seorang laki-laki mengenakan kaus oblong cokelat dan celan boxer, duduk membungkuk di depan kolam renang. Tatapan sendu memikirkan kesalahan dan sesal yang teramat atas dua kali kesalahan terbesar yang dilakukan. Ia harus menghilangkan perasaan cinta kepada Clara.

Hubungan kami memang salah, kami yang berdosa, yang tidak seharusnya punya ikatan cinta ini. Hubungan cinta kami seharusnya sudah tidak ada, bahkan sebelum kami jatuh cinta, dia anak dari istriku. Padahal dulu aku sama sekali tidak berpikir apa-apa tentangnya, belum lagi dia begitu benci denganku.

Cinta memang indah, tapi juga menyakitkan. Cinta bisa membawa kedamaian, tapi juga malapetaka. Cinta bisa mengubah seseorang lebih baik, tapi juga bisa merusak moral. Pada dasarnya, cinta itu sebuah anugerah, cinta itu suci, tapi kami yang mengotorinya.

Aku terjerumus dalam cinta yang salah, sudah merusak akal sehatku. Aku yang semula berperilaku normal layaknya manusia, tapi karena terlena dengan cinta, aku jadi berperilaku seperti binatang. Aku yang melukai dua wanita, aku yang merusak ikatan dan hubungan mereka. Aku yang membuat hubungan mereka hancur.

Siapa pun boleh mengutukku, aku pantas mendapatkan hukuman. Aku tidak bisa mengendalikan diri, padahal aku sudah memiliki bidadari yang sempurna untukku, tapi kenapa aku masih saja serakah. Kenapa aku mencintai keduanya? Kenapa aku mengambil keduanya? Kenapa aku sebajingan ini? Kenapa begitu sulit melupakannya, dan aku tidak bisa juga melepaskan wanita yang selama ini setia kepadaku.

Ibu, maafkan aku, Ibu pasti sudah tidak menganggapku sebagi anak lagi. Aku seharusnya hanya mencintai seorang saja, Bu Lidya yang seharusnya selalu kujaga hatinya, tapi aku menduakan.

Bu Lidya tidak pernah berbuat salah padaku, tapi aku yang menghancurkannya. Maafin kami, kami yang salah, kami yang terlena dengan nafsu. Bu Lidya tidak sepantasnya untuk mendapatkan luka yang begitu dalam seperti ini.

Minggu demi minggu dalam satu rumah yang penuh luka terus dilewati, keadaan tetaplah berbeda. Lidya tetap berusaha untuk mempertahankan rumah tangga bersama Arsya. Berpikir bahwa semua orang memiliki kesalahan, termasuk Lidya ketika muda dulu.

Bukan hanya demikian, juga memikirkan reputasi. Baginya, perceraian adalah hal yang memalukan di usianya yang sudah kepala empat, apalagi pernikahan yang belum lama berjalan. Lidya memohon kepada semua asisten rumah tangga untuk berjanji tidak membocorkan aib Clara dan Arsya. Kedua pelaku itu terus-menerus meminta maaf dengan sungguh-sungguh, membuat hati Lidya tidak tega.

Meski begitu, canggung, kecewa, kesedihan masih saja menyelimuti antara ibu, anak, dan suami. Clara berpikir untuk tinggal sendiri. Sore itu dia menemui sang ibu yang sedang membaca majalah di halaman belakang. Duduk di sebelahnya dan berbasa-basi menyapa.

"Ma, aku mau tinggal sendiri. Di kost atau di apartemen. Aku mau fokus passion-ku, pengen ngurus salon, Ma."

Lidya menutup majalah, meletakkan di meja. "Kamu yakin, mau tinggal sendiri?" tanyanya memastikan.

Lidya membatin, apa Clara nggak kuat terus-terusan di sini liat Arsya terus bersamaku. "Tapi tolong, kamu harus janji, kamu jaga diri baik-baik. Jangan pernah nyakitin diri kamu sendiri." Biar bagaimanapun Lidya mengingat bahwa Clara pernah melukai diri sendiri. Tidak ingin sang anak melakukannya lagi.

"Ma! Aku janji, aku nggak akan lakuin perbuatan yang nyakitin diri sendiri," jawab Clara lugas.

Lidya menganggut. "Clara, mending kamu tinggal di cluster Mama aja di sana kosong nggak ada yang nempatin."

Kami yang BerdosaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang