Polisi, tim SAR, Lidya, dan Kevin sedari siang sedang mencari Arsya dan Clara. Namun, hingga petang, belum juga menemukan mereka.
"Kemungkinan mereka selamat. Mungkin mereka mencari jalan keluar dan tersesat," kata salah satu polisi.
Lidya menitikkan air mata dan memeluk Kevin. Benar-benar khawatir, terladang terlintas berpikir buruk.
"Mereka pasti selamat, Ma," kata Kevin, mengelus pundak mamanya dan meyakinkan.
Di tempat Arsya berada, ia telah kembali dari hutan, membawa segulung ranting kering. Masuk ke gubug, mendapati Clara sedang meringkuk menggigil. Segera memeriksa dahinya.
"Kamu demam, Clara." Arsya menghela napas.
"Mau pulang," kata pelan Clara.
"Iya, kita pasti akan pulang. Kamu makan, ya?" Arsya membantu Clara duduk.
"Gue bisa sendiri." Suaranya lemas, Clara menyingkirkan kedua tangan Arsya.
Arsya memberikan buah. "Mau disuapin?"
"Gue bisa sendiri."
Arsya mengangguk, kemudian membuat api unggun dan berjaga hingga mengantuk. Di tengah malam, api unggun mengecil. Arsya terbangun karena mendengar suara ringikan. Merasakan tubuh Clara bergetar ketakutan.
"Gue takut, gue takut." Napas si gadis memburu.
Arsya memutar badan ke arah Clara. "Clara, kamu nggak sendiri." Ia menaruh beberapa ranting agar api unggun tetap menyala.
Kembali berbaring. "Saya boleh peluk kamu, buat angetin kamu?"
Clara yang terbaring miring memunggunginya, tak memberi jawaban, sibuk dengan rasa takut dan tak karuan.
"Clara, kamu bakal baik-baik aja." Arsya mengelus-elus punggung Clara. Perlahan memeluk bermaksud menenangkannya.
Setelah sekitar setengah jam, Clara merasa lebih baik. Merasa hangat pelukan dari belakang, membuatnya tak ketakutan lagi. Perlahan melirik ke belakang, ingin memeriksa apakah Arsya sudah tertidur atau belum.
Angin bertiup, terasa hingga dalam gubug kecil. Clara berbalik, mendekap erat Arsya yang sudah tertidur. Ia juga memeluknya untuk menghangatkan. Saling menguntungkan.
Hingga matahari mulai terbit, posisi tidur Clara memunggunginya dan Arsya masih memeluknya. Mata Clara terbuka.
Kenapa gue ngerasa nyaman, spooning gini sama Arsya, Clara membatin.
Clara sengaja berdiam agar tidak membangunkan Arsya. Tidak berapa lama, Arsya membuka mata. Tangannya bergerak memegang dahi si gadis.
"Masih demam."
Arsya berjalan ke sungai untuk membersihkan wajah dan badan. Ia kembali ke tempat Clara berada dan membelah buah-buah dengan tangan. Arsya membantu membangunkan Clara, kemudian menyuapi.
"Bagaiamana keadaanmu sekarang?"
"Masih pusing, lemes, nggak karuan." Wajah Clara memang masih pucat.
"Saya pijat lagi, ya?"
Clara mengangguk. Arsya memijat kepala Clara dari belakang, lalu memijat punggungnya. Setelah itu, ia duduk di depan Clara dan memijat kedua kakinya hingga ke telapak kaki. Clara terdiam menikmati, sesekali meliriknya.
"Apa yang bisa saya lakukan? Mungkin ada sesuatu yang bisa saya bantu."
"Gue pengen cuci muka," jawab Clara, merasa risih pada diri karena belum membersihkan diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kami yang Berdosa
Любовные романыArsya merupakan anak asisten rumah tangga dari keluarga Lidya. Saat Arsya berusia 11 tahun, ibunya meninggal. Lidya sudah berjanji bahwa dia akan menjaga Arsya. Namun, kedua anak Lidya-Kevin dan Clara membenci Arsya, karena menganggap Arsya merebut...