Arsya dan sang istri keluar kamar. Perut Lidya sudah terlihat membesar, kini memasuki lima bulan kehamilan. Wanita ini sudah beraktivitas seperti biasa, bekerja keras mengurus hotel dan kembali melayani sang suami muda.
Lidya memasukkan dompet ke dalam tas kecil, membuat lipstiknya terjatuh. Saat dia hendak mengambil lipstik, Arsya melarang, lalu mengambilkan lipstick itu dan diberikan kepadanya.
Clara mengintip dari dalam kamar, menyaksikan Arsya bergandengan tangan bersama Lidya, menuruni tangga.
Hal-hal kecil yang Arsya lakukan untuk Lidya, selalu membuat Clara terkagum sekaligus cemburu.
Sepulang dari rumah teman, Clara kembali melihat Arsya memangku kedua kaki Lidya dan menggunting kuku kakinya. "Bu Lidya kalau butuh apa-apa bilang saja, sekarang kan sudah agak susah potong kuku kaki sendiri. Bilang saja sama saya, Bu, jangan sungkan, apalagi nanti perutnya makin besar udah semakin susah."
Tersanjung, Lidya tersenyum syukur. "Kamu itu selalu buat saya bahagia, Arsya. Hal-hal begini yang kamu selalu lakukan untuk saya, itu sangat berati untuk saya."
Senyum hangat menghiasi wajah Arsya, memandang Lidya. Beberapa detik tidak berkedip, mengamati wajah sang istri yang berubah menjadi Clara. Mengerjap, Arsya tersadar bahwa wanita di hadapannya ini adalah Lidya, bukan Clara. Arsya menggenggam tangan kanannya dan menciumnya untuk mengalihkan pikiran yang tengah kacau.
Clara berbalik badan, memilih lewat jalan lain menuju kamar.
Kevin yang tengah lewat, menyahut sang mama. "Percaya aja sama gombalan."
"Saya tidak gombal, Kak Kevin," bantah Arsya.
"Halah." Suara Kevin terdengar samar, sudah melangkah jauh.
Seandainya gue yang selalu dapet perlakuan manis kayak itu dari lo, Arsya, tapi itu nggak mungkin, batin Clara. Lemas, kaki terasa berat, begitu pelan gadis ini menaiki tangga.
Di lain hari saat keduanya di tempat parkir rumah, hendak berangkat kampus, Arsya menyapanya terlebih dahulu.
"Hai."
"Tugas dari Pak Erwin sudah selesai?" tanya Arsya, bermaksud basa-basi.
"Belum."
"Mau saya bantuin?"
Clara tertegun, tidak percaya atas tawarannya. "Boleh." Perlahan senyumnya mengembang.
"Nanti malam, sehabis makan, ya?"
Clara mengangguk, tersenyum lagi. Dia menantikan malam segera.
Waktu yang dinantinya tiba. Arsya dan Clara duduk di ruang santai, menyiapkan buku dan laptop. Keduanya mulai berdiskusi.
Lidya yang melihat mereka dari kejauhan, tersenyum senang. Akhirnya mereka bisa jadi teman setelah sekian lama, batinnya. Dia melangkah menuju kamar.
Arsya dan Clara berpegangan telapak tangan secara tidak sengaja di atas mouse. Saling menatap, Clara gugup, Arsya juga demikian. Keduanya melepaskan tangan dari mouse.
Beberapa detik Arsya berusaha menormalkan detak jantung.
"Am, jadi, ini ...."Kevin yang melihat keakraban mereka, berdecih malas. "Rumah ini dah nggak asyik lagi, mending gue nglayap aja. Nggak betah gue di rumah," ucapnya menggerutu.
Sejam setengah kesibukan Arsya dan Clara, keduanya berkemas.
"Makasih banget, ya?" Senyum dan ucapannya tulus, ingin sekali menghabiskan waktu dengannya lebih lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kami yang Berdosa
RomanceArsya merupakan anak asisten rumah tangga dari keluarga Lidya. Saat Arsya berusia 11 tahun, ibunya meninggal. Lidya sudah berjanji bahwa dia akan menjaga Arsya. Namun, kedua anak Lidya-Kevin dan Clara membenci Arsya, karena menganggap Arsya merebut...