46. Penyesalan

121 26 56
                                    


Arsya duduk di tepi ranjang, menunduk memikirkan bahwa ia benar-benar menghancurkan perasaan sang istri. Clara berbaring miring memugginya, lemas. Keduanya merenung, siapa sangka bahwa Lidya akan memergoki perselingkuhan mereka.

"Gue malu sama Mama, Ar. Gue nggak berani pulang, gue mau di sini aja."

"Hati Bu Lidya pasti lagi terguncang. Saya harus menemuinya," Arsya menoleh ke belakang, "kamu jaga diri di sini baik-baik, ya? Kamu jangan tinggalin makan dan minum. Janji sama saya."

Clara mengangguk pelan.

Arsya berjalan ke sebrang ranjang, berjongkok di hadapan wajahnya. "Clara, saya mohon. Jangan tinggalkan makan kalau sudah waktunya. Minum yang cukup, ya?"

"Iya, Ar," ucap pelan Clara.

Arsya bangkit, mengenakan celana jeans dan sepatu. Bergegas pulang ke rumah. Sesampainya, ia mencari Lidya di seluruh ruang rumah, tetapi tidak menemukan. Arsya menghampiri Bi Rita yang tengah menggunakan vacum cleaner di ruang depan. Tidak mendengar pertanyaannya, wanita itu mematikan mesin.

"Kenapa, Ar?" Rita mengernyit melihat mata Arsya agak bengkak terlihat bekas menangis.

"Bu Lidya di mana?"

"Bu Lidya belum pulanglah, masih di Korea."

Belum sempat Rita bertanya beberapa hal, Arsya berlari keluar rumah menuju mobil. Mengambil ponsel dari saku celana, kemudian menghubungi si istri. Berulang kali menelepon, tetapi tidak ada jawaban. Arsya tahu bahwa Lidya sengaja tidak mengangkat panggilan. Arsya menghubungi seseorang yang bisa melecak keberadaannya.

Pukul delapan malam lewat, Arsya tiba di sebuah cluster. Di sana Lidya memiliki rumah berkamar tidur dua. Arsya mengetuk beberapa kali, tetapi si penghuni rumah tidak mau membuka. Karena kesal, Lidya mengirimkan pesan kepada suami.

Istri
Tolong tinggalin saya, saya lagi pengen sendiri.

Lidya tidak mau pulang. Tidak mau orang-orang rumah menyaksikan kesedihan, juga kabar memalukan yang Arsya dan Clara lakukan. Arsya tidur di dalam mobil, tetap menunggunya. Saat pagi, ia memarkirkan mobil jauh dari depan rumah, lalu menunggunya di teras.

Menunggu waktu tepat, saat siang ia melihat Lidya keluar, langsung berdiri di hadapan. Lidya menatap dengan kebencian. Kembali ke dalam, tetapi kekuatan Arsya berhasil mendorong pintu dan mengikuti masuk.

Lidya berpaling. Membuka pintu hendak masuk ke kamar, tetapi Arsya juga berhasil mengikuti masuk. Lidya membuka pintu, ingin menghilang darinya, tetapi Arsya mencegatnya.

"Saya tahu, hancur, sakit, terluka, kecewa, marah ...." Arsya menarik napas panjang dengan terputus-putus. Mata mulai nanar, ia menunjuk sendiri dengan kemarahan.

"Saya memang bajingan, saya laki-laki kejam yang tak berperasaan, melukai wanita yang begitu baik pada saya dan ibu saya," sambung Arsya. Menengadah, bogeman memukul paha kanan sendiri.

Laki-laki itu menarik cairan dari dalam hidung dan kembali menatap lekat wajahnya. "Tolong lampiaskan semua kemarahan Bu Lidya, tampar saya, pukul saya, lakukan apa saja yang Bu Lidya mau, saya mohon."

Arsya menggenggam tangan kanan istri, mengangkat pelan dan menodongkan di pipi kiri. "Pukul saya, pukul saya sekencang-kencangnya."

Lidya tidak sedetik pun melihat wajah suami, pandangan hanya berfokus pada gagang pintu. Tubuhnya tetap terdiam.

Arsya memukul wajah sendiri menggunakan tangan sang istri. Lidya memutar leher, menatap suami dengan napas gemetar, teringat akan pengkhianatan yang memalukan. Mata menciut, lalu kepalan tangan melambung dan mengenai rahang suami membuatnya sedikit tertoleh. Mendengkus, manik menyorot tajam lelaki itu, lalu telapak tangan sebelah menampar pipinya.

Kami yang BerdosaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang