7. Sabar Menghadapi Clara

144 21 16
                                    

Arsya siap berangkat ke kampus. Menatap foto ibunda dan tersenyum berpamit. Laki-laki itu keluar kamar dan berjalan hendak turun ke bawah. Clara yang melihatnya, berjalan cepat dan berdiri di hadapan. Cewek itu mendengkus kesal dan mulai membentak.

"He, lo tidur di kamar baru! Gue udah bilang berkali-kali kalo lo tetep tidur di kamar pembantu! Lo nggak pantes tidur di kamar sekelas kami! Ngerti lo, makin ngelunjak aja sih lo!"

"Bu Lidya yang nyuruh," jawab santai Arsya. Tangan kanan sibuk melipat lengan panjang hingga ke siku.

"Ya lo nolak, lah!" Matanya mendelik ke arah wajah si pemuda.

"Bu Lidya tetap maksa." Arsya tetap merespons sabar dan hanya sedetik menatap si gadis. Tangannya kembali melipat lengan panjang sebelah.

"Eh lo tetep aja maksa!" Clara mendekat, mengerutkan dahi dan bibir. Rasa ingin terus memaki dia tahan saat melihat sang mama datang.

"Ada apa sih, Clara pagi-pagi sudah teriak-teriak!" tegur Lidya berdecak terheran.

Clara menoleh ke arah Mama. "Ma! Mama itu kenapa, sih? Anak pembantu ini tuh nggak pantes tidur di kamar itu! Ngapain sih Mama, jadi ngelunjak kan dia!" ujarnya protes, mengempaskan kedua tangan seolah ingin menyingkirkan Arsya.

"Cukup, Clara kamu tidak ada hak untuk melarang. Karena Mama yang bertanggung jawab semua atas rumah ini!" Lidya menghadap Arsya. "Kamu Arsya, jangan dengerin kata-kata Clara!"

"Iya, Bu." Arsya yang sedari tadi berdiri terdiam, kini mengangguk dengan senyuman ramah.

"Arsya, ayuk kita sarapan," ajak Lidya.

"Iya, Bu." Arsya menoleh ke arah Clara dan tersenyum manis, tetapi matanya terlihat mengejek si gadis.

Clara membuka mulut, menutup dan memajukan bibir. Semakin muak dengan perilaku Arsya. Sialan! Gue diledek lagi, gerutunya dalam hati, lalu berteriak, "Heh! Lo pikir senyuman lo itu manis, hah!"

Arsya dan Lidya terus menuruni tangga tanpa memedulikan Clara.

Arysa, Lidya, Clara, dan Kevin sarapan pagi bersama. Wajah Clara terus mengerut saat melirik Arsya. Kevin juga sesekali menatap sinis. Sementara Lidya memperhatikan wajah keduanya, hanya bisa menggeleng-geleng pelan. Ibu dua anak ini kemudian memberikan perhatian kepada Arsya dengan menyodorkan sepotong roti. Tentu saja kakak dan adik kompak memutar bola mata dan membuang muka.

Arsya dan Clara berangkat ke kampus. Waktu makan siang, suasana kantin cukup ramai, Arsya makan bakso bersama Rifki. Clara melihat punggung Arsya, menyeringai dan berdiri membawa es susu cokelat. Berjalan ke arah bangku laki-laki yang dibenci, menjatuhkan diri ke punggungnya, seketika es susu cokelat tumpah di baju bagian depan si korban.

"Aduh, sorry." Clara berpura-pura menengok kaget, berdiri. "Ya ampun, Arsya. Ternyata lo aduh sorry ya, tadi tersandung," ucapnya memelas palsu.

Arsya hanya terdiam, paham atas kesengajaan Clara yang sudah biasa.

Sukurin lo, kata Clara dalam hati sambil tersenyum tipis.

Saat jam kampus selesai, Arsya berkemas, pergi ke tempat parkir motor. Menghela napas berat, melihat ban motor belakang kempes. Laki-laki itu menuntun motor hingga saat keluar gerbang, mobil berwarna merah yang berjalan pelan—tak lain milik si cewek jahil itu, membuka kaca mobil, menyapanya.

"Lo kenapa motornya?" tanya Clara meledek. Bibirnya mengerucut imut, bersimpati palsu.

Arsya refleks menoleh, kemudian kembali berjalan mendorong motor, sementara Clara menutup kaca bersama tersenyum puas.

Kami yang BerdosaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang