48. Segitiga yang Takseharusnya

128 33 39
                                    

Seorang pria paruh baya berjas putih, keluar dari ruang IGD. Si Nenek bersama si sopir mendekat dan siap mendengarkan kabar Lidya.

"Kondisi Pasien benar-benar menurun, butuh perawatan sampai kondisi Pasien membaik. Yang menyebabkan Pasien pingsan karena perubahan irama jantung atau aritmia. Pasien juga mengalami tekanan darah tinggi. Pasien harus benar-benar jaga pola makan dan tidak boleh stress," ucap si dokter.

"Baik, Dok. Matur nuwun sanget, nggih? (Terima kasih banyak, ya?)" Nek Sari mengangguk dan meminta izin untuk menemui sang keponakan.

Lidya masih terbaring lemah belum membuka mata. Terdapat infus dan monitor yang terus memantau tekanan darah dan detak jantung. Nek Sari duduk di samping ranjang, menatap turut prihatin.

Sementara Arsya tengah berada di jalan tol menuju Jawa Tengah. Khawatir memikirkan Lidya, juga Clara. Ia Menyalakan speaker mobil, lalu menelepon si babysitter berusia 19 tahun.

"Chacha, gimana keadaan Bu Lidya?"

"Kata Eyang, Bu Lidya udah sadar, tapi kondisinya masih lemah banget. Ngedrop banget, Mas."

Arsya menghempaskan napas gelisah, kemudian menanyakan lebih lanjut tentang kondisi sang istri. Setelah panggilan terputus, ia mempercepat laju mobil. Fokus menatap jalan bersama navigator yang tetap menyala.

Dini hari akhirnya ia sampai di rumah sakit. Berhati-hati memasuki ruang inap Lidya agar tidak membangunkannya. Romi juga tertidur di kursi panjang empuk. Perlahan Arsya mendudukkan diri di kursi sebelah ranjang pasien.

Maafin saya, Bu Lidya, katanya dalam bantin.

Arsya menyandarkan kepala pada atas nakas, tak berapa lama ia tertidur karena kelelahan setelah perjalanan lebih dari 7 jam.

Romi mengerjap pelan, melirik ke arah ranjang. Matanya membuka lebar melihat punggung Arsya, mengernyit memikirkan sejak kapan Arsya berada di ruang. Romi menyengir merasa tidak enak hati karena ia tidur di sofa, sedangkan sang majikan tertidur di kursi. Ingin membangunkannya, tetapi juga takut menganggu. Daripada bingung, Romi kembali tidur.

Lidya terbangun dari mimpi, memiringkan kepala ke kiri, tersentak melihat sang suami. Arsya menggerakkan kepala, lengan yang digunakan untuk berbantal, terasa pegal. Ia menyadari bahwa Lidya telah terbangun.

Arsya membenarkan posisi duduk, menggenggam tangan sang istri. "Bu Lidya." Ia membuka mulut, tetapi terkelu, rasa bersalah teramat dalam karena telah membuatnya seperti ini.

Keduanya bertatap, mata sayu Arsya mulai bergenang, terlihat jelas sesal dan khawatir, bibirnya berkedut belum bisa berkata lagi. Lidya berpaling, hanya bergeming. Arsya berdeham karena begitu sesak terasa di dada. Romi terbangun, merasa canggung di antara pasangan suami istri, ia berpamit keluar ruang untuk memberikan waktu kepada mereka.

"Bu Lidya, maafin saya," ucap Arsya lirih.

Lidya tidak menanggapi, menyingkarkan tangannya, tidak mau disentuh.

Di tempat Clara, dia sudah terbangun sedari tadi. Laura dan Kevin berdiri di sampingnya dan menanyakan kondisi pasien.

"Ra, lo kalo udah waktunya makan ya makan, minum yang cukup, biar nggak cacingan kek gini. Terus lo kurangin makan makanan yang pedes," kata Kevin diakhiri decakan sebal karena merasa bahwa Clara tidak menjaga diri.

"Ish!" Laura menyenggol siku Kevin, "Yang, ngomongnya jangan gitu, dong! Clara kan beneran sakit ini," ujarnya menggerutu.

"Mama udah tahu belum?" tanya Kevin kepada Clara. "Mama liburan terus, udah ke Korea, sekarang di Jawa."

Kami yang BerdosaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang