Waktu berlalu dan Arie tak pernah menunjukkan batang hidungnya lagi. Firmi sudah melahap seluruh soal olimpiade yang diberikan Bu Anna untuk latihannya dan secara antusias Bu Anna menyebutnya sebagai murid paling cemerlang sepanjang sejarah Bukit Cahaya.
"Bagus, bagus sekali Firmi," ucap Bu Anna saat melihat guru matematika memberi nilai 100 pada lembar jawaban Firmi. "Ohhh, kalau kau berhasil menang maka akreditas sekolah kita akan langsung naik. Tahun depan akan lebih banyak murid pintar yang masuk …."
Firmi hanya mendengarkan secara samar-samar. Sudah puluhan kali Bu Anna memaparkan ambisinya sampai-sampai Firmi bosan mendengar itu. Bu Anna berniat untuk meningkatkan kualitas sekolah dan karena itulah dia menerapkan beberapa peraturan baru seperti pengeluaran murid yang tidak bisa mencapai nilai kkm.
"Maaf Bu, kalau sudah selesai saya pulang dulu," ucap Firmi sesopan mungkin.
"Oh, okay. Ingat kita besok berangkat pukul delapan pagi. Jangan sampai telat."
Firmi mengambil tasnya dan bergegas pulang ke panti. Perjalanan pulangnya terasa lebih berat dari yang biasa karena kepala Firmi sudah dipenuhi dengan berbagai macam rencana yang akan dia lakukan begitu mendapat uang hadiahnya besok. Belum pernah dia punya uang untuk dirinya sendiri dan tak tahu bagaimana harus menggunakannya. Firmi benar-benar harus membeli seragam baru namun tidak tahu apa yang akan dia katakan pada Bu Cindy jika dia melihat seragam barunya.
Perasaan berang di pikirannya bercampur dengan perasaan gelisah. Belum pernah Firmi mendapat kesempatan ataupun keberuntungan semacam ini dan semuanya berjalan terlalu mudah sampai-sampai dia merasa sesuatu yang jahat sudah menunggunya. Seperti seekor serangga yang tertarik akan bau nektar dan akhirnya jatuh dalam perangkap kantong semar, Firmi merasa keadaan saat ini terlalu manis untuk dianggap hidup.
Dan kegelisahannya menjadi kenyataan esok paginya. Ketika Firmi melewati gang yang seharusnya sudah menjadi rute bebas Lery, dia sudah ditunggu oleh Lery dan kawanannya yang memasang wajah jahat. Dipimpin oleh Lery yang tangannya masih dalam balutan gips mereka mulai mengelilingi Firmi dan Firmi yang hanya punya beberapa detik untuk berpikir mengambil keputusan cepat, lari!
"Jangan kabur woii!!"
Cuma orang bodoh yang akan berhenti saat diteriaki seperti itu, pikir Firmi. Di saat-saat seperti inilah Firmi bersyukur memiliki tubuh yang kurus karena setidaknya berat badan tidak menghambatnya dalam berlari, tidak seperti Lery dan teman-temannya.
Meski demikian Firmi kehabisan napas dengan cepat. Tubuhnya yang jarang sekali berolahraga harus mencari perlindungan di antara tempat sampah dan menutup diri agar tak ada yang menyadari keberadaannya.
Napas Firmi terasa begitu berat dan keras bersamaan dengan jantungnya yang seolah hendak melompat keluar dari rongga dadanya. Dia tak yakin apakah bersembunyi di dalam tempat sampah adalah pilihan yang baik namun setidaknya dia bisa mendengarkan suara-suara dari luar sebagai ganti dari aroma busuk di sekujur tubuhnya.
"Oi kau lihat dia? Cepat cari goblok!"
"Memangnya siapa kau main perintah, dasar cacat! Kau yang cari sana!"
Firmi bisa mendengar suara pukulan dan sesuatu yang berat jatuh ke tanah disusul suara sumpah serapah Lery.
"Kau goblok ya? Orang itu bilang jangan sampai dia datang ke sekolah. Kau malah nyari mati."
Untuk sesaat keduanya terdengar saling memukul satu sama lain. Firmi sungguh berharap agar keduanya saling bunuh agar dia dapat keluar dari tempat sampah ini. Dan permintaannya dikabulkan, dia terlempar keluar saat salah satu dari mereka terjatuh menabrak tempat sampah tempat Firmi bersembunyi.
Hening … dan hening. Lery dan satu orang lagi yang Firmi tak tahu namanya menatapnya dengan pandangan buas, jahat, dan lega. Lari pun sudah tidak berguna lagi jadi Firmi hanya bisa menggigit bibirnya sendiri dan menerima semua kekerasan yang mereka lakukan padanya.
Hal berikutnya yang Firmi ingat adalah dia terbangun dengan tubuhnya dimasukkan ke dalam tempat sampah. Hari sudah gelap dan olimpiade jelas sudah berlalu namun rasa sakit di sekujur tubuhnya masih tersisa. Aroma busuk bangkai tikus yang bercampur dengan aroma darahnya sendiri membuat Firmi memuntahkan semua isi perutnya sambil mengutuk. Mengutuk Lery, mengutuk hidupnya, mengutuk seluruh dunia.
***
Sudah berhari-hari sejak kejadian itu dan Firmi masih belum masuk sekolah. Dia hanya berbaring diam dan menunggu hingga luka-luka di tubuhnya membaik. Bu Cindy mengoceh tanpa henti saat dia kembali dalam keadaan babak belur. Dia tidak bertanya kenapa Firmi bisa sampai seperti itu, dia lebih asik mengeluhkan jumlah obat-obatan yang harus dia beli untuk mengobati luka Firmi yang lebam dan berdarah. Hal itu membuat Firmi merasa semakin menderita.
Len datang mengunjunginya seminggu setelah kejadian tersebut dan memberitahu apa yang terjadi di sekolah.
"Bu Anna panik sekali dan menyuruh sebanyak mungkin murid mencarimu, tapi kebanyakan murid bahkan tak tahu siapa kau. Bu Anna sudah hilang harapan saat jam delapan tiba dan coba tebak siapa yang membuat harapannya tumbuh lagi."
"Arie," bisik Firmi, sadar betul bahwa prediksinya tepat seratus persen.
"Tentu saja. Lihat saja mukanya yang mirip tikus berdasi itu. Dia tiba-tiba muncul dan bilang dia yang akan jadi peserta olimpiade. Tak ada pilihan lain mereka harus berangkat. Di upacara tadi pagi mereka mengumumkan dia dapat juara ketiga. Bu Anna terlihat kecewa sekali."
Kekecewaan Bu Anna sama sekali tak ada artinya dibanding kekecewaan Firmi. Hilang sudah kesempatannya memenangkan lima juta dan hangus pula rencananya untuk mulai hidup mandiri jauh dari Bu Cindy. Dia sudah muak makan nasi dan telur setiap pagi dan sekarang dia masih harus bersabar dengan sarapan mengerikan itu lebih lama. Mana mungkin Firmi diam saja diperlakukan seperti ini.
"Hei Len. Ini memang kedengaran jahat, tapi aku harus balas dendam," ucap Firmi dengan seluruh tekad yang bisa dia kumpulkan di suaranya.
"Menarik sekali. Apa kau mau meracuninya atau sekedar membuatnya koma?"
"Nggak, akan kusimpan metode itu untuk Lery dan kawan-kawannya. Si Arie ini nganggap dirinya pintar kan? Kalau gitu harga dirinya itu perlu diijak sampai rata. Artinya, kalahkan dia dalam pelajaran."
"Tapi kalian berdua kan beda kelas, beda angkatan malah. Gimana caranya?" Len ragu-ragu namun Firmi sudah punya jawaban itu sejak kemarin.
"Olimpiade," ucapnya matang-matang. "Ada olimpiade lain di akhir bulan. Olimpiade itu bisa diikuti siapa pun, nggak harus perwakilan sekolah, tapi Bu Anna bilang dia juga mau kirim perwakilan ke situ. Nah, aku jamin si Arie ini pasti dikirim lagi jadi aku juga bakalan ikut diam-diam, daftar mandiri. Ahh, aku nggak sabar lihat mukanya waktu aku diumumkan sebagai juara satu."
Firmi nyengir lebar sementara Len masih memandanginya dengan ragu-ragu.
"Aku nggak paham betul tapi olimpiadenya pasti dilangsungkan di Kota kan? Memangnya kau punya uang buat ke sana?"
Cengiran Firmi lenyap secepat pemadaman listrik. Dia menatap Len tajam-tajam namun Firmi tak bisa menjawab pertanyaan sederhana itu.
Uang. Benar sekali, dia tidak punya uang untuk pergi. Bukan hanya ongkos, dia juga butuh uang untuk keperluannya selama di sana. Bagaimana … bagaimana cara Firmi bisa mendapatkan uang?
Dan tanpa disangka, Len memberikan jawaban."Kurasa aku bisa bantu," ucap Len pelan. "Aku memang nggak punya uang tapi … kau ingat waktu uas dulu? Sebenarnya, aku kenal orang yang butuh bantuan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Cheater
Teen FictionFirmi bukanlah murid biasa. Tak ada yang tahu siapa dia, bahkan dirinya sendiri pun tak tahu. Namun, kedatangannya ke Sma Bukit Cahaya membawa badai besar yang berujung pada gerakan konspirasi di sekolah. Perlahan-lahan Firmi pun belajar menjadi ma...