Demi mengerjakan tugas, Firmi membolos untuk ketiga kalinya dalam seminggu dan menghabiskan seharian di ruangan Osis. Dia sedikit terkejut dengan betapa sedikitnya kemajuan yang sudah mereka buat dalam memeriksa lembar jawaban jadi Firmi memutuskan untuk menghabiskan seluruh hari demi menuntaskannya.
Smartphone baru Firmi terletak begitu saja di atas meja. Baru kemarin pihak sekolah mengumumkan bahwa mereka mengijinkan murid membawa smartphone asal tidak digunakan selama pelajaran. Pengangkatan peraturan ini mendapat respon yang baik dari para murid. Sayangnya tak ada yang tahu bahwa Osis lah yang sudah berjasa dalam menghapus peraturan itu.
Firmi mengamati smartphone nya sekali lagi. Dia masih belum mengerti mengapa sekolah menganggap benda itu berbahaya dan dia tidak bisa bertanya pada Carla karena Carla seolah menjauhinya sejak kejadian di resto cepat saji. Mengingat kejadian itu membuat konsentrasi Firmi buyar. Ini benar-benar fenomena yang aneh karena biasanya guntur petir pun tak bisa mengalihkan perhatiannya.
Oh! Apakah itu salah satu dampak buruk dari smartphone? Tanya Firmi dalam hatinya.
"Aha! Di sini kau rupanya."
Suara itu membuat Firmi mengalihkan pandangan dari ponselnya. Arlene berjalan memasuki ruangan dengan wajah sumringah dan tanpa ijin mendudukkan pantatnya di atas meja sehingga dia bisa bebas menatap Firmi dengan sudut pandang yang lebih tinggi.
"Kau nggak kelas?" tanya Firmi.
"Kelas? Ini udah jam istirahat lo."
Ekor mata Firmi melirik ke arah jam dinding, jam itu masih menunjukkan pukul 8 pagi, ternyata jam itu mati. Firmi pun memperhatikan hasil kerjanya sedari tadi. Apa mungkin dia terlalu fokus sampai-sampai tidak mendengar suara bel istirahat? Atau apakah pikirannya sudah benar-benar terbang sampai tak sadar lagi dengan sekitarnya?
"Jadi, kau mau apa?" tanya Firmi, tangannya kembali bergerak mengoreksi lembar jawaban.
"Semalam aku dengar dari Carla lo," ucapnya dengan seringai menyebalkan. "Kau beneran nembak dia?!"
"Aku nggak punya pistol atau bahkan ketapel, gimana caranya aku nembak dia?"
Arlene menggaruk-garuk kepalanya dengan ekspresi kesal.
"Maksudku, apa benar kau menyatakan perasaanmu padanya?" tanyanya dengan kesabaran seseorang yang mengajarkan bahwa satu tambah satu sama dengan dua ke balita yang kelewat emosional.
"Aku bilang aku naksir dia, that's all."
"Kau beneran bilang?! Kyaaaaa!!!"
Dengan suara melengking dia nyaris saja jatuh saking girangnya, tetapi tampaknya Arlene sama sekali tak memperdulikan sikapnya yang tidak anggun, dia lebih peduli pada kisah cinta Firmi.
"Tapi tapi, gimana ceritanya? Kok kau bisa naksir dia?" tanyanya lagi dengan kilauan cahaya di matanya.
"Apa aku harus bilang?"
"Harus."
"Aku nggak mau bilang."
Jawabannya memberikan tusukan keras ke jantung Arlene sampai-sampai wajahnya tampak menahan sakit yang entah datang dari mana. Dia menggigit bibirnya sendiri untuk menahan kesal dan akhirnya menghembuskan napas panjang.
"Okay, aku kesal tapi tak apalah. Tapi aku betul-betul heran, padahal kau itu korban bully dan dia pembullynya, kok bisa kau suka dia? Apa hidupmu sudah berubah jadi drama Korea?"
"Kalau kau punya waktu mending kau koreksi semua jawaban ini. Batasnya 3 hari lagi lo."
"Oh ayolah, kau itu orangnya terlalu tertutup. Kalau kau begitu terus kau nggak akan bisa mendapatkan hati Carla."
"Aku tak pernah bilang mau mendapatkan hatinya."
Dengan napas yang begitu teratur Firmi menaruh satu lembar jawaban ke tumpukan selesai dan mengambil lembar jawaban baru. Dari sudut matanya dia bisa melihat Arlene tampak kebingungan dengan jawaban tersebut jadi Firmi memberinya penjelasan tambahan.
"Jujur aja aku nggak ngerti masalah cinta, aku juga tak paham kenapa manusia harus menikah, aku bahkan lebih nggak paham kenapa ada orang yang mau melahirkan anak tak berdosa ke dunia semacam ini. Mungkin aku memang suka Carla tapi aku tak punya bayangan untuk kami berpacaran, apalagi menikah."
Arlene lanjut terdiam mendengar jawaban tersebut dan Firmi memanfaatkannya untuk kembali bekerja. Meski demikian dia tak bisa fokus, ada sesuatu yang benar-benar mengganggu pikirannya.
"Firmi," bisik Arlene dengan suara yang bergetar, "karna di sini nggak ada cermin jadi aku kasih tau aja ya, sekarang mukamu tampak sedih lo."
Firmi menyentuh wajahnya perlahan. Pelan-pelan dia mengambil smartphone dan memeriksa bayangannya di layar yang gelap. Apa wajah yang terpantul di sana benar-benar ekspresi sedih miliknya?
"Kurasa kau jadi semakin manusiawi," tambah Arlene lagi, "itu berita baik kan?"
"… Mungkin, kurasa begitu."
"Firmi oh Firmi~"
Dengan tangannya dia mengelus-elus kepala Firmi layaknya majikan mengelus kepala anjingnya. Dengan cepat Firmi menepis tangan itu tapi senyum di wajah Arlene tidak berkurang sedikit pun.
"Aku dukung kau sama Carla." Katanya. "Kalau kau butuh saran atau semacam itu tanyakan saja padaku. Pasti kubantu."
"Memangnya kau punya pengalaman cinta?"
Senyuman Arlene menghilang secepat kedipan mata. Menyadari apa artinya itu Firmi pun terkekeh kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Cheater
Novela JuvenilFirmi bukanlah murid biasa. Tak ada yang tahu siapa dia, bahkan dirinya sendiri pun tak tahu. Namun, kedatangannya ke Sma Bukit Cahaya membawa badai besar yang berujung pada gerakan konspirasi di sekolah. Perlahan-lahan Firmi pun belajar menjadi ma...