Satu jam kemudian satu persatu anggota Osis pulang ke rumah masing-masing dengan pikiran yang sulit untuk ditebak. Airu merupakan orang terakhir yang meninggalkan ruangan dan sebelum pergi dia menoleh pada Firmi yang terus bersandar pada dinding sedari tadi.
"Kau yakin mau nginap di sini? Sekolah ini berhantu lo."
"Aku nggak percaya hantu, tapi ya, aku nginap di sini."
"Kau boleh nginap di rumahku kalau kau mau."
Firmi menggeleng dan Airu tidak mendesak lebih jauh. Sekali lagi Firmi ditinggalkan dalam keheningan ruang Osis yang mulai gelap. Dengan sengaja dia mematikan lampu agar tak ada siapa pun yang menyadari masih ada kehidupan di ruangan tersebut dan setelah mendapat ketenangan yang dia butuhkan Firmi pun kembali merenung.
Namun sebelum dia merenung cukup dalam pintu mendadak terbuka, Arlene berdiri di sana dengan mata tajamnya terarah pada Firmi.
"Kau yakin mau nginap disini? Udahlah, mending kau balik aja ke rumah Carla."
"Aku mulai bosan mendengar itu."
"Ayolah," pintanya memohon, "sekolah ini berhantu lo. Kalau besok kau sampai ditemukan gantung diri—"
"Stop! Aku nggak akan ke sana lagi."
Firmi berjengit. Luka yang disebabkan Arlene di pipinya memberikan rasa sakit yang serius setiap kali dia berbicara. Arlene menyadari itu dan langsung terlihat bersalah.
"Maaf sudah menamparmu tadi. Kau mau roti? Ambillah."
"Aku tidak lapar."
"Terus kau maunya apa?"
"Maksudmu?"
"Maksudku, kau pasti minta balasan kan?"
Dengan tenang Firmi menggeleng, "Tak masalah. Kurasa aku memang pantas ditampar."
Arlene tampak terkejut sekali. Ada nada ketidakpercayaan dalam suaranya.
"Sebenarnya kau ini kenapa sih? Kau benar-benar… jadi manusiawi lo. Jangan-jangan kau betulan dapat arti kehidupan ya?"
Firmi terkekeh kecil mendengar itu. Aneh, padahal tak ada apa pun yang lucu.
"Arti kehidupan, benar sekali. Hei Arlene, kau tahu tempat yang menjual bunga di dekat sini?"
"Bunga? Kau mau nembak Carla lagi?"
"Bukan, aku mau berziarah."
Firmi tak tahu apa yang Arlene pikirkan di balik tengkoraknya, tetapi Arlene tidak bertanya lebih jauh dan menyuruh Firmi mengikutinya. Dengan keadaan sekolah yang kosong melompong Firmi bisa berjalan bebas tanpa mata-mata penasaran yang mengikutinya. Arlene pun membawanya ke lahan parkir, tempat yang tak pernah Firmi kunjungi sebelumnya.
"Ayo naik," ucap Arlene saat dia duduk di satu-satunya motor yang masih ada di sana.
"Ehh… ini motormu?"
"Minggu lalu dompetku kecopetan di angkot jadi orangtuaku nyuruh aku naik motor buat ke sekolah. Aku cuma punya satu helm, tapi karna kepalamu keras kau nggak butuh helm kan?"
"Yeah… ini kau mau ngantar aku ke tempat penjual bunganya?" tanya Firmi bingung.
"Lah, tadi kau yang nanya kan?"
Firmi terdiam sesaat sementara otaknya sibuk memikirkan banyak hal. Akhirnya, Firmi pun mengangguk dan berkata, "Jangan sampai nabrak ya."
Firmi sudah beberapa kali menggunakan layanan ojek tapi ini pertama kalinya dia dibonceng oleh seorang wanita. Rambut Arlene yang tidak tertutup helm sering kali tertiup angin dan menusuk matanya sehingga membuat perjalanan terasa tidak nyaman. Saat tiba di toko bunga Firmi membeli beberapa bunga Anyelir dan berterima kasih pada Arlene karena sudah diantar.
"Kau nggak mau beli baju sekalian?" tanya Arlene sembari menunjuk toko baju di seberang jalan. Firmi mengamati penampilannya dan mengangguk setuju. Firmi sama sekali tak punya fashion sense dan karenanya Arlene lah yang sibuk memilih pakaiannya.
"Jeans? Celana kuncup. Kau kurus sekali jadi bajumu jangan pilih yang ketat. Lalu sepatu… atau kau lebih suka sandal?"
"Aku ini mau ziarah lo, bukan menghadap presiden."
"Kalau menghadap presiden kau harus pakai jas dan dasi. Pakaian begini itu normal buat ke mana-mana."
Arlene mengambil satu kemeja yang dipajang dan meletakkannya di depan Firmi seolah mencoba membayangkan Firmi memakainya. Tepat di saat itulah dia menyadari sesuatu.
"Kau tambah tinggi ya?"
"Aku tambah tinggi?" tanya Firmi balik.
"Kau tambah tinggi," tegas Arlene sembari menggambar garis tak tampak dari kepalanya ke kepala Firmi. "Kita udah sama tinggi sekarang. Katanya laki-laki memang pertumbuhannya muncul saat Sma. Kurasa kau butuh baju yang lebih besar."
Firmi membiarkan Arlene bersenang-senang memilih bajunya dan setelah setengah jam yang terasa seabad mereka akhirnya meninggalkan toko baju tersebut. Firmi langsung memakai baju barunya dan membuang baju lamanya ke tempat sampah.
"Ke mana berikutnya?" tanya Arlene yang sudah menyalakan motornya. Firmi butuh beberapa detik untuk memproses pertanyaan itu.
"Tempatnya jauh lo."
"Kalau begitu mari bergegas."
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Cheater
Teen FictionFirmi bukanlah murid biasa. Tak ada yang tahu siapa dia, bahkan dirinya sendiri pun tak tahu. Namun, kedatangannya ke Sma Bukit Cahaya membawa badai besar yang berujung pada gerakan konspirasi di sekolah. Perlahan-lahan Firmi pun belajar menjadi ma...