Epilog: Bintang-bintang di atas sana

31 7 1
                                    

“Salam kenal, nama saya Arlene. Mulai hari ini saya akan menjalani kegiataan PPL di sekolah ini. Mohon bantuannya.”

Tepuk tangan sopan mengiringi perkenalan diri Arlene. Bahkan setelah tiga tahun kelulusannya, Sma Bukit Cahaya masih belum berubah. Para guru masih mengenalinya dan dia diberi sambutan yang hangat. Dia dan beberapa mahasiswa lain pun dibawa mengikuti pembelajaran.

Sudah lima tahun sejak kasus penipuan yang melibatkan kepala sekolah Bukit Cahaya dan Nusa Bangsa. Kasus yang secara khusus diliput oleh media itu membuat kementrian pendidikan berintrospeksi dan membuat banyak perbaikan dengan pengawasan lebih ketat.

Arlene masih ingat masa-masa itu dan bersyukur Sma Bukit Cahaya sudah menjadi jauh lebih baik dengan mengakui kekurangan yang ada dan menggunakannya sebagai batu loncatan untuk terus memperbaiki diri.

“Gimana hari pertama kamu? Lancar?”

Saat pulang sekolah, Pak Denis secara langsung mendatanginya. Pak Denis yang lima tahun lalu diangkat sebagai kepala sekolah sementara dan kini menjadi kepala sekolah tetap terlihat lebih kurus dari yang terakhir kali Arlene ingat. Lebih kurus, lebih botak, dan lebih berwibawa.

“Lancar kok, Pak. Bapak sendiri gimana? Kayaknya capek banget jadi kepsek.”

“Yah, begitulah. Capek nggak capek harus tetap dijalani.”

“Osis apa kabar Pak? Nggak ada skandal baru kan?”

“Nggak ada kok. Nggak ada… yang spesial.”

Keduanya bersandar ke dinding dan mengarahkan pandangan ke atas, ke arah langit biru dengan banyak awan putih yang melayang mengikuti arah angin. Dulu saat Arlene mengakui semua perbuatannya pada Pak Denis, cuacanya juga seperti ini.

“Sudah lima tahun,” ucap Pak Denis, “kamu dapat kabar dari dia?”

Menanggapi pertanyaan itu Arlene mengangkat bahu, “Tapi firasat Kak Airu bilang dia masih hidup.”

“Sulit untuk percaya tanpa bukti, tapi mari percaya saja. Yang namanya anak muda itu memang harus hidup keras. Selagi masih muda kalian akan terus bisa bangkit.”

“Pak Denis betul-betul cocok jadi guru rupanya. Kalau aja dulu Anda seperti itu, murid-murid nggak akan takut sama bapak.”

Pak Denis tertawa kecil dan memutuskan untuk kembali ke kantornya sementara Arlene bersandar dan menatap langit sedikit lebih lama.

Tak berapa lama kemudian ponselnya berdering tanda panggilan masuk. Arlene mengangkatnya bahkan tanpa melihat nama pemanggil.

“Hai Carla… oke, aku ke sana sekarang.”

Sekolah ini memiliki banyak kenangan untuk Arlene, kenangan-kenangan berharga. Itulah alasan utama kenapa dia memilih sekolah ini sebagai tempat praktek kerjanya. Meski demikian Arlene bertanya-tanya apakah keputusannya sudah benar. Apakah terikat pada kenangan benar-benar cara yang baik untuk melanjutkan hidup?

Arlene terus memikirkan itu dalam perjalanannya menuju kafe. Carla sudah menunggunya saat dia tiba di sana.

“Gimana PPL-nya? Lancar?”

“Biasa aja,” jawab Arlene. “Kau sendiri gimana? Udah move-on belum?”

Carla membalasnya dengan senyuman masam. Baru seminggu sejak Carla diputus oleh pacarnya secara sepihak dan hampir setiap hari Arlene harus berurusan dengan rengek tangisnya.

“Kau itu kan cantik, Carla, ribuan laki-laki ngantri buat jadi pacarmu. Pilih aja yang ganteng satu, begitu caranya bias bisa move-on.”

“Pacarku kemarin juga ganteng kok, tapi dia malah selingkuh,” keluh Carla.
“Kalau gitu coba cari yang jelek, orang jelek nggak mungkin berani selingkuh kalau punya pacar cantik.”

Crazy CheaterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang