Pengakuan dosa

36 7 0
                                    

Apa yang Firmi tinggalkan di ruangan Osis adalah sebuah suasana berat yang sangat tidak nyaman. Kelima orang itu duduk mengelilingi meja, tidak berbicara, tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing.

“Aku tahu kita semua pasti memikirkan hal yang sama,” ucap Airu memecah keheningan. Dia yang memilih bicara sama artinya dengan memaksa mereka untuk membahas apa yang baru saja mereka dengarkan. “Itu memang pemandangan yang spektakuler. Kukira yang seperti itu cuma ada di anime.”

“Bisa tidak kau tak membahas entah apa pun yang kau tonton sekarang?” keluh Annie.

“Oh ayolah, aku cuma ingin mencairkan suasana. Aku yakin di kepala kalian sudah terbentuk usulan-usulan semacam mengeluarkannya dari Osis jadi sebelum kalian bicara aku harus membuat suasananya netral lebih dulu. Dan satu hal lagi, aku tak akan mengeluarkannya. Itu sudah keputusanku.”

“Kau terlalu berpihak padanya.”

“Tenangkan dirimu sedikit Annie. Kau juga sering menabrakku dengan sepeda saat kita kecil jadi aku paham rasanya ingin balas dendam. Apalagi pelakunya sama sekali tak merasa bersalah sepertimu.”

“Aku sudah minta maaf kan? Lagipula itu sepuluh tahun yang lalu, kenapa kau terus mengungkit itu?”

“Aku tak lagi mempermasalahkannya, tapi tidak semua orang baik hati seperti diriku. Dalam kasus yang ekstrim, beberapa orang berakhir membawa senjata api ke sekolah dan membunuh seluruh murid. Aku masih belum mau mati tau.”

Annie merespon jawaban Airu dengan ekspresi masam di wajahnya. Di sebelahnya, Wanda mengalihkan tatapannya pada Arlene yang sedari tadi duduk tertunduk.

“Apa itu benar?” tanyanya, “kau menuang tinta spidol ke kepalanya?”

Semua menatapnya. Menyadari perhatian yang tak diinginkan itu Arlene mengangguk kecil sebelum mengubur wajahnya lebih dalam.

“Kenapa kau lakukan itu?” tanya Wanda lagi.

“Aku cuma iseng,” jawab Arlene, suaranya parau, “waktu itu kami kelas tiga Sd dan rambutnya sudah beruban jadi kutuangkan saja tinta itu agar rambutnya kembali hitam.”

“Logika anak kelas tiga Sd benar-benar seram,” komentar Airu. “Kita semua pernah berbuat bodoh Arlene, tapi perbuatan bodohmu sudah menghasilkan… umm….”

“Bocah sombong, sok tau, kasar, licik, anti sosial, dan punya senyuman iblis,” sambung Annie.

“Ya, seperti itu. Dan jangan lupa caranya bicara pada kakak kelas benar-benar butuh perbaikan,” tambah Airu. “Tapi selama kita tak mengganggunya, dia teman bicara yang asik. Siapa lagi di sekolah ini yang hapal nama sembilan Ennead?”

“Aku hapal.”

“Stop Wanda, tak perlu memaksa diri berkompetisi. Kenyataannya, Firmi ini mungkin jenius yang hanya ada sepuluh tahun sekali. Kita harusnya merasa beruntung mengenalnya.”

“Merasa sial lebih tepat,” celetuk Annie.

“Oh ayolah. Justru orang-orang macam dialah yang membuat hidup ini asik. Dulu aku mengira Osis akan penuh kegiatan menyenangkan, mulai dari merancang festival hingga mengambil alih sekolah, tapi coba lihat apa yang kita punya? Sekumpulan manusia yang dipaksa masuk Osis sebagai hukuman. Bukannya aku mengeluh, tapi aku akan mati bosan jika seperti ini terus.”

Airu menutup argumennya dengan memukul meja layaknya hakim mengetuk palu. Dia mengalihkan matanya ke arah Kai (yang masih melamun seperti biasa) lalu ke arah Annie (yang benar-benar terlihat tidak senang) lalu ke Wanda (yang tampak bingung) dan akhirnya ke Arlene yang terus saja menatap sepatunya. Airu mendesah berat.

“Dengar, setiap manusia itu berbeda dan tugas kitalah untuk menyatukan setiap perbedaan. Beberapa di antara kita berbuat salah dan tidak menyadarinya. Sekarang seseorang yang punya logika paling lurus ada di tengah kita jadi ini kesempatan untuk bercermin dan memperbaiki diri. Suka tidak suka kita ini adalah anggota Osis, kalau mengurus satu murid saja tak bisa maka lebih baik bubarkan saja organisasi ini.”

“Jadi sebenarnya kau mau apa?” tanya Annie kesal, tak terpengaruh dengan pidato panjang Airu.

“Aku cuma mau kita saling mengerti. Aku tak menyuruhmu menganggap apa yang dia lakukan benar, tapi setidaknya coba pahami dari sudut pandangnya. Kalau kau bisa melihat dari sudut pandang lain, Annie, kau akan paham perasaanku.”

Dan tanpa memberi penjelasan lagi Airu mengambil tasnya lalu meninggalkan ruangan. Kini hanya empat orang yang tertinggal di ruang Osis, dan keempatnya saling diam.

“Kalau begitu aku pulang dulu.”

Kai, yang sejak awal tak ingin terlibat hal yang merepotkan, bergegas pergi dalam diam. Arlene masih tertunduk, jadi hanya Annie dan Wanda sajalah yang saling bertukar pendapat lewat kontak mata.

“Kurasa semua ini bisa selesai dengan meminta maaf,” Wanda berbicara lebih dulu. “Maksudku, Arlene jelas-jelas melakukan kesalahan di masa lalu. Soal apakah Firmi memaafkan atau tidak kita bisa menengahinya nanti.”

“Masalahnya, bocah itu sama sekali tak punya niat memaafkan, kau lihat sendiri kelakuannya,” bantah Annie. “Kau dengar apa yang dia perbuat pada teman Arlene itu kan? Wajar kalau Arlene marah. Kalau itu aku, pasti sudah kusuruh pembunuh bayaran untuk mencincangnya.”

“Bukannya tadi kau bilang serahkan semuanya pada hukum?” tanya Wanda heran. “Yang jelas dua-duanya salah dan kalau keduanya tak mau minta maaf maka… saling diam. Biarkan saja mereka perang dingin selamanya. Ahh, itu solusi yang buruk.”

Sayangnya Annie tak bisa memikirkan solusi yang lebih baik daripada itu sehingga pembicaraan kembali menemui jalan buntu. Di tengah kesunyian dan kebuntuan itulah akhirnya Arlene angkat bicara.

“Sudahlah,” bisiknya pelan sekali sehingga dua perempuan itu harus mendekat agar bisa mendengarnya. “Sudahlah, aku akan minta maaf dan kalau dia tak mau ya sudah, biar saja begitu.”

“Kau sudah benar-benar ketakutan ya?”

Apa yang dikatakan Annie tidak salah. Arlene gemetar, wajahnya berlinang air mata, dan dia memeluk tubuhnya seolah takut ada yang mencoba untuk melukainya.

“Kau lihat? Apa kau mau bergaul dengan orang yang bisa melakukan hal semacam ini?” tanya Annie menantang. Wanda termenung, lalu menggaruk kepalanya frustasi.

Akhirnya mereka menyerahkan semuanya pada keputusan Arlene. Sejak awal ini memang masalah mereka berdua. Tak peduli seperti apa hasilnya, mereka hanya bisa berdoa agar tak ada sesuatu yang buruk akan terjadi.

Crazy CheaterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang