A man called Albus

11 5 0
                                    

“Apa artinya ini?”

Setelah Bu Anna pergi, Airu langsung melontarkan pertanyaan yang ada di kepala semua orang. Tak ada yang menjawab, tak ada yang benar-benar yakin dengan jawaban mereka.

“Kurasa dia cuma serakah, itu saja,” jawab Firmi pada akhirnya. “Kalau aku bisa dapat sepuluh juta kenapa aku harus puas dengan dua juta?”

“Tapi itu sangat menyulitkan kita. Kalau cakupannya sudah seluas itu siapa yang tahu kapan dan di mana uangnya akan disimpan?”

“Kalau uangnya mau dikorupsi ujung-ujungnya pasti akan ngalir ke Bu Anna kan?” tanya Arlene masuk akal.

“Kalau skalanya sudah seluas satu kota nggak mungkin Bu Anna yang pegang uangnya. Kurasa reputasinya nggak mungkin sebagus itu,” balas Firmi lagi. “Pertanyaannya, kenapa dia malah membuang kesempatan korupsi? Jawabannya, dia nggak membuang itu. Mungkin dia punya rekan koruptor di sekolah lain dan mereka kerjasama. Kalau skalanya seluas ini, dibagi dua pun pasti lebih besar dibanding penghasilannya yang biasa.”

“Rekan koruptor? Siapa?”

“Sma Nusa Bangsa,” jawab Firmi lancar seolah-olah dia sudah tahu semuanya. “Aku pernah dengar murid-murid bisa diterima di sana asal membayar. Tempat yang sempurna untuk mencari rekan koruptor.”

“Itu cuma tebakan asal.”

“Kalau gitu kenapa nggak periksa aja ke sana? Temanmu si Albus pasti akan gembira.”

Ucapan Firmi sukses merubah raut muka Airu menjadi masam. Dia mungkin tidak suka, tapi dia tahu itu harus dilakukan. Memangnya apalagi yang bisa mereka lakukan tanpa adanya petunjuk?

“Okay, aku akan pergi, tapi kau ikut denganku.”

***

Langit terlihat begitu kuning ketika mereka mengunjungi Sma Nusa Bangsa. Sudah sore, kebanyakan murid sudah pulang, yang tersisa hanyalah murid-murid yang menjalankan kegiatan ekstrakurikuler. Di antara sedikit murid itu, Albus adalah sebuah pengecualian. Meski merupakan ketua Osis, dia sebetulanya tidak biasa berdiam di sekolah hingga sesore ini, tapi hari ini dia mendapat tamu yang istimewa.

“Ya, itu benar. Baru tadi kepsek menyuruh kami mengumpulkan sumbangan untuk bencana itu. Apa ada yang salah?” tanyanya kepada dua orang yang duduk di seberang meja.

“Tidak ada,” jawab Airu singkat. “Aku cuma mau tanya, apa kalian memang biasa melakukan yang seperti itu?”

“Tidak, belum pernah. Kalau ada orangtua murid yang meninggal kami memang akan mengumpulkan sumbangan dari seluruh murid, tapi belum pernah kami mengumpulkan uang untuk bencana alam.”

“Kau nggak ngerasa itu aneh?”

“Itu tidak aneh, kami hanya beradaptasi.”

Dia mengalihkan pandangan ke luar, ke arah beberapa murid yang tengah mengumpan bola satu sama lain di tengah lapangan.

“Jika ada sesuatu yang baik maka wajar bila kita menirunya. Kudengar sekolah kalian mengadakan berbagai kegiatan sosial dan diterima baik oleh masyarakat jadi wajar bila kami melakukan yang serupa. Tak ada hal yang aneh dari itu.”

Argumennya yang amat masuk akal membuat Airu terdiam. Dia tak ingin terlalu terang-terangan karena tak ada bukti, tapi bila tidak terang-terangan maka pembicaraan tak akan mengarah ke tempat yang dia inginkan.

“Ngomong-ngomong, aku sudah baca tentang perbandingan emas,” ucapnya tiba-tiba, “itu rumus matematika yang menarik, tapi aku lebih suka melihatnya dari sudut pandang seni.”

“Ya, itu memang menarik. Aku paling suka logo Apple,” balas Firmi tanpa menatapnya melainkan terus melihat ke luar.

“Aku jadi mendapat sudut pandang baru tentang kehidupan ini. Tak ada yang setara, tapi semua memiliki perbandingan yang sempurna. Sama seperti sekolah. Sekolah ini memiliki target untuk 5 persen pemalas dan 95 persen pekerja keras. Dengan adanya mereka yang malas, 95 persen sisanya akan termotivasi untuk tidak menjadi seperti mereka. Bukannya itu konsep yang menarik?”

Firmi mengalihkan pandangannya dan untuk pertama kali menatap Albus tepat di mata. Firmi pun mengangguk.

“Ya, itu konsep yang menarik. Jika semuanya sama, tak akan ada yang merasa perlu melakukan sesuatu yang lebih. Itulah alasan mengapa Uni Soviet runtuh.”

“Betul sekali. Namun, aku juga percaya semua orang itu berbeda. Pendidikan, terutama sekolah, menganggap semua orang itu sama dan berharap melahirkan cetakan yang sama persis. Banyak orang sudah berbicara, tapi tak pernah ada perubahan karna banyak kepentingan bermain di dalam. Bimbel-bimbel didirikan setiap hari, dibayar untuk mengajari murid cara memecahkan soal dan bukannya cara memecahkan masalah. Terus dan terus buat mereka merasa gelar adalah segalanya. Sungguh dunia yang busuk.”

Firmi tidak mengatakan apa-apa lagi. Ada lebih banyak hal untuk dipikirkan daripada untuk dibicarakan dan terkadang ada hal yang tak perlu dibicarakan karna semuanya hanya perlu dipikirkan. Pembicaraan penuh makna antar dua orang pintar itu membuat Airu garuk-garuk kepala.

“Kalau begitu sebaiknya kami pergi, kurasa kau juga ingin segera pulang kan,” ucap Firmi pada akhirnya.

“Ya. Kalau kau ingin bicara hal lain hubungi saja aku, aku akan meluangkan waktu.”

Dengan sopan Firmi dan Airu meninggalkan Sma Nusa Bangsa. Keduanya datang dengan motor Airu dan dengan itu jugalah mereka akan pulang. Di tempat parkir, Airu menuntut penjelasan pada Firmi.

“Dia tidak tahu, tapi dia akan mencari tahu, itu intinya.”

“Dari mana kau tahu itu intinya? Dia sama sekali tidak bilang apa-apa.”

“Ada banyak hal yang tersirat dan hanya menunggu untuk dipecahkan,” ucap Firmi sembari memakai helm. “Ngomong-ngomong, aku ingin pergi ke suatu tempat.”

Firmi memberitahu tujuannya dan itu membuat Airu bingung. Meski demikian dia bersedia mengantar Firmi.

“Memangnya apa yang tersirat tadi?” tanya Airu sambil menjalankan motor dengan kecepatan rendah agar tetap bisa mendengar suara Firmi.

“Pertama, dia menyinggung keadaan sekolah mereka. 95 persen pekerja keras dan 5 persen pemalas. Itu persis keadaan sekolah mereka yang mana 5 persen merupakan murid-murid hasil sogokan. Setelah itu dia menyinggung keberagaman, yang mana artinya dia tak setuju dengan sistem sekolah. Dia pasti merasa ada yang tak beres dengan sumbangan itu karna kita sudah bertanya dan karna dia bersifat oposisi maka dia akan mengawasinya secara ketat. Singkat kata, dia sudah jadi sekutu kita. Dia memang orang yang hebat.”

Airu mengangguk, matanya menerawang ke depan. Butuh waktu baginya untuk memahami semua analisis itu. Jika dia hanya sendiri maka tak mungkin dia bisa mengerti apa makna dibalik kata-kata Albus.

“Kurasa kau sudah bosan mendengar ini, tapi kau memang orang paling jenius yang pernah kukenal.”

Crazy CheaterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang