Di kantor polisi yang tak jauh dari Sma Bukit Cahaya, Bu Anna telah memberikan keterangan lengkap pada polisi. Selain dia, temannya dan juga kepsek Nusa Bangsa ikut dimintai keterangan sejelas-jelasnya. Pak Denis dan Airu ikut dipanggil sebagai saksi dari pihak sekolah dan kini mereka tengah duduk di bagian luar kantor polisi setelah dirundung begitu banyak pertanyaan.
“Hahh…” Airu mendesah berat, “aku tak mau jadi polisi.”
Dia sudah mendengar cerita lengkapnya dari Bu Anna dan dia yakin Bu Anna menceritakan secara lengkap dan jujur. Bagaimanapun, bersikap sopan dan jujur pasti akan mengurangi masa tahanannya. Dengan kata lain, rasa hormat Airu pada ayah anni yang merupakan seorang polisi korup sudah jatuh ke titik terendah.
“Masih banyak polisi baik di luar sana, jangan menggeneralisir,” tegur Pak Denis di sebelahnya.
“Okay, Pak Denis bisa bijak juga rupanya.”
“Jaga bicaramu!”
“Ngomong-ngomong,” Airu cepat-cepat mengalihkan pembicaraan, “sekolah bakalan gimana ini? Siapa yang akan jadi kepsek?”
Pak Denis terdiam sejenak. “Kita tunggu saja keputusan dari yang di atas,” jawabnya kemudian.
“Kenapa nggak bapak aja yang jadi kepsek?”
Pertanyaan itu membuat Pak Denis keheranan. “Saya?”
“Iya, bapak. Firmi bilang cuma bapak guru yang bisa dipercaya di satu sekolah.”
“Jadi guru BK saja saya sudah botak, apalagi jadi kepsek?”
Airu tertawa kencang meskipun Pak Denis sama sekali tidak berniat melucu.
“Kalian terus saja lanjutkan pekerjaan kalian,” ucap Pak Denis kemudian. “Reputasi sekolah memang jatuh, kepercayaan masyarakat menurun, tapi hal yang baik harus terus dipertahankan. Saya akan selalu mendukung kalian di Osis.”
Giliran Airu yang merenung sekarang. Selama ini mereka hanya mengikuti program dari Bu Anna. Sekarang setelah Bu Anna tak lagi memberi perintah, akan jadi apa Osis sekarang? Mungkin dia dan anggota Osis yang lain harus berkumpul dan membahas semuanya dari awal. Mereka berenam.
Namun, Airu punya firasat bahwa hal itu tak akan terjadi lagi.
“Permisi, maaf mengganggu saudara sekalian.”
Seorang polisi keluar dan menegur mereka. Raut wajahnya serius. Sekejap saja Airu langsung yakin bahwa sesuatu yang tak beres sedang terjadi.
“Kami sudah mengamankan barang bukti, terutama uang sumbangan yang dikumpulkan, tapi di dalam koper itu sama sekali tak ada uang. Isinya cuma buku-buku bekas.”
“… Ha!?”
***
Di sebuah stasiun, Firmi meregangkan tubuhnya menikmati cahaya matahari yang panas membakar kulit. Setelah sekian lama cuma berlindung di balik bayangan ruang Osis, kini dia harus membiasakan diri dengan cuaca seperti ini yang sebentar lagi akan menjadi rumah barunya.
Firmi mengeratkan tas punggungnya dan memegang koper di tangan kanan, siap untuk berangkat.
“Kau serius mau pergi?”
“Arlene, itu kesembilan kalinya kau menanyakan hal yang sama. Kau tanya sepuluh kali pun aku tak akan merubah jawaban.”
Arlene tersenyum muram, matanya menatap koper yang Firmi pegang.
“Kau ini benar-benar… itu uang hasil kejahatan lo!” tegur Arlene.
“Dairpada diambil polisi lebih baik uangnya untukku. Terima kasih sudah mengambilnya dari bagasi Bu Anna. Kau mau sedikit bagian?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Cheater
Teen FictionFirmi bukanlah murid biasa. Tak ada yang tahu siapa dia, bahkan dirinya sendiri pun tak tahu. Namun, kedatangannya ke Sma Bukit Cahaya membawa badai besar yang berujung pada gerakan konspirasi di sekolah. Perlahan-lahan Firmi pun belajar menjadi ma...