Panti asuhan Firmi berada di daerah pinggiran kota yang kumuh dan minim pengawasan pemerintah sehingga beberapa aksi kejahatan tumbuh subur dan menjamur. Bukan hal baru bagi Firmi untuk mendengar berita pencurian maupun kekerasan. Dan seolah mengikuti trend, banyak geng remaja yang tumbuh dalam kekacauan tersebut.
Dan di antara geng remaja tersebut ada satu yang benar-benar mengganggu Firmi. Geng itu terbentuk sekitar beberapa minggu setelah hari pertama masuk Sma dan Firmi masih ingat betul awal dari rasa bencinya pada mereka.
Hari itu Firmi sedang berjalan pulang sekolah dengan uring-uringan. Dia hanya makan sedikit saat sarapan dan sama sekali tak punya uang untuk jajan di sekolah jadi dia mempercepat langkahnya untuk pulang. Namun, di sebuah gang yang biasa menjadi jalan tikus baginya untuk sampai ke panti, mereka sudah menunggu. Jumlah mereka ada lima dan semuanya bertubuh tinggi besar meski memakai seragam Sma. Orang yang paling besar di antara mereka bernama Lery dan dialah pimpinan geng berandalan itu.
Pekerjaan mereka sehari-hari adalah merokok di pinggir jalan, melempari mobil yang lewat dengan batu, merusak fasilitas umum, dan memalak orang-orang lemah seperti Firmi.
"Oi! Sini duit lu!"
Firmi merasa seperti duri dalam daging saat mereka berlima mengerubunginya dan tidak menyisakan sedikit pun celah untuk lari.
"Aku nggak punya uang," jawabnya jujur, tapi jelas mereka tak percaya. Mereka meraba kantong dan tas Firmi namun dengan kecewa mereka harus menerima fakta bahwa Firmi benar-benar tidak punya uang.
"Cih, dasar miskin," hina Lery sembari menendang pantat Firmi keras-keras sampai Firmi terjungkal ke depan.
"Memangnya siapa yang miskin sampai harus memalak orang?" tanya Firmi tanpa bisa ditahan. Orang-orang semacam Lery benar-benar membuatnya muak.
"Haa?! Ngomong apa kau?!"
Lery mencengkram kerahnya kuat-kuat sampai Firmi khawatir bajunya akan robek. Firmi bisa mencium napasnya yang bau rokok. Setelah dilihat dari dekat wajah Lery lebih mirip babon cemberut dibanding preman betulan.
"Aku bilang, bukannya kalian yang miskin sampai-sampai harus memalak orang lain?"
Firmi tak yakin apakah ucapannya bisa disebut sebagai keberanian, tapi jika itu benar keberanian maka rasanya sakit. Pukulan yang dilayangkan ke pipinya membuat bagian dalam mulutnya berdarah.
"Bilang apa kau tadi?! BILANG LAGI KALAU BERANI!!"
Itulah untuk pertama kalinya Firmi mengerti betul apa yang disebut dengan rasa sakit fisik. Bu Cindy memang suka melontarkan cibiran pedas padanya, tapi setidaknya dia tidak pernah menggunakan kekerasan. Namun Lery berbeda. Tangannya yang sebesar bola bowling itu tanpa ampun memukul dan menghantam setiap bagian tubuh Firmi yang bisa dia jangkau. Jika bukan karena beberapa orang yang kebetulan lewat Firmi yakin dia akan benar-benar mati saat itu.
Setelah orang-orang itu kabur ketakutan Firmi berbaring di jalanan gang itu lama sekali sampai-sampai dia tak lagi terganggu dengan bau darah dan sampah. Dia memikirkan banyak hal sembari membiarkan sinar matahari membakar kulitnya, tetapi tak ada satu pun pemikirannya yang bisa menjawab kenapa dia harus diperlakukan seperti itu.
Kekerasan, pikirnya, adalah metode tercepat untuk berunding. Kekerasan diciptakan sehingga satu orang bisa memaksakan pendapatnya pada orang lain tanpa repot-repot mendengarkan pendapat orang tersebut. Cepat, sangat efektif, dan menimbulkan perasaan takut bagi siapa pun yang mencoba menentang pendapat si pengguna kekerasan. Sekarang setelah merasakannya secara langsung Firmi jadi teringat apa yang dia lakukan pada Len.
Tidak, dia tidak merasa bersalah, dia hanya tengah memikirkan sebuah rencana licik untuk melawan kekerasan dengan kekerasan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Cheater
Roman pour AdolescentsFirmi bukanlah murid biasa. Tak ada yang tahu siapa dia, bahkan dirinya sendiri pun tak tahu. Namun, kedatangannya ke Sma Bukit Cahaya membawa badai besar yang berujung pada gerakan konspirasi di sekolah. Perlahan-lahan Firmi pun belajar menjadi ma...