Pengakuan

12 7 0
                                    

"Akhirnya kita bisa rapat full team juga. Ya Tuhan, Bu Anna mulai gila! Baru kemarin kita minta sumbangan banjir sekarang harus minta sumbangan lagi buat gempa Jakarta. Terus sumbangan buat aku kapan?"

"Kalau kau kecelakaan kami akan sumbangkan peti mati, Ketua."

Firmi mengunyah rotinya perlahan-lahan. Dia duduk bersandar ke dinding sementara anggota Osis yang lain duduk di meja bundar, sibuk membahas proposal baru yang masuk. Firmi sudah memberikan jawaban karangan atas absennya, tetapi penampilannya yang mirip gembel membuat mereka ragu. Untungnya 'tugas' mendadak yang Bu Anna berikan membuat Firmi tak dirundung dengan pertanyaan. Belum.

"Tapi ini serius, bukannya terlalu banyak sumbangan akan membebani murid? Apa akreditasi sekolah sebegitu pentingnya?" tanya Airu.

"Akreditasi sekolah ini minggu lalu naik menjadi B dan ada peningkatan fasilitas. Itu juga bagus di mata universitas," jawab Wanda, "tapi meski tidak dipaksa, sumbangan per minggu itu memang agak…."

"Serakah," sambung Annie. "Bisa-bisa minggu depan kita akan disuruh menyumbangkan baju dan buku bekas. Dan siapa tahu apa yang akan kita sumbangkan minggu depannya lagi."

"Tapi tapi, sumbangan sosial itu perbuatan baik kan?" balas Arlene, "Karena tak ada paksaan harusnya nggak ada yang protes."

"Itu memaksa dengan halus," timpal Annie lagi, "kalau semua orang jawab A apa kau berani jawab B sendirian?"

"Umm… tidak, kurasa tidak."

Suara dengkuran halus dari Kai yang tertidur mengiringi kebingungan mereka. Firmi mendengarkan dengan baik, mencoba memproses seluruh informasi yang muncul selama ketidakhadirannya. Dia sudah tahu hal ini akan terjadi dan karenanya dia tidak terkejut. Bu Anna melanggar kerja sama mereka.

"Very well! Memangnya apa yang bisa kita lakukan?"

Airu melempar proposalnya ke tengah meja dan menyandarkan diri ke sandaran kursinya, berharap agar seseorang mengambil proposal itu dan mengerjakannya. Namun proposal itu tetap berdiam di sana, tipis dan tidak diinginkan.

"Tak ada sukarelawan? Mari kita lihat… Firmi, bukannya proposal sumbangan semacam ini idemu?"

Firmi meremas bungkus roti dan memasukkannya ke dalam plastik. Dia bisa merasakan mereka menatapnya tapi Firmi tidak balas menatap.

"Proposalku itu sumbangan untuk banjir, bukan gempa."

"Aku cukup yakin keduanya sama-sama diklasifikasikan sebagai bencana alam. Benar juga, bagaimana kalau kau mengaku sebagai korban gempa? Kau bisa dapat sedikit uangnya dan dengan penampilan seperti itu tak akan ada yang curiga."

Entah itu bercanda atau tidak, Firmi menimpalinya dengan serius.

"Meski pura-pura jadi korban pun uang itu tak akan pernah sampai padaku."

"Makdusnya?"

"'Makdusnya?'"

"Maksudku, maksudnya?"

"Maksudnya, tak ada satu rupiah pun dari uang sumbangan itu yang benar-benar sampai ke tangan korban. Kalian sudah ditipu."

Firmi melakukan hal yang benar. Jika Bu Anna melanggar kesepakatan maka Firmi punya hak yang serupa. Pengkhianatan dibalas pengkhianatan. Lagipula dia sudah tak berminat melakukan kerjasama ini lebih jauh.

"Ditipu? Apa maksudmu?" tanya Wanda heran, "Siapa yang menipu kami?"

"Bu Anna," jawab Firmi. "Dan aku."

Jawaban itu malah membuat Wanda semakin bingung. Airu telah kembali memandangi proposal dengan ekspresi berpikir keras, Kai masih tidur sementara tiga yang lain menatap Firmi tajam-tajam.

"Sumbangan bencana alam itu cuma kedok, itu cuma ajang korupsi yang mana uangnya akan jadi milik kami berdua, lima puluh lima puluh untuk masing-masing. Uang sumbangan murid-murid tak pernah sampai ke korban bencana."

"Kau ngelawak," ucap Wanda, "aku sudah periksa, bukti setoran ke badan amalnya ada kok."

"Bukti setoran semacam itu gampang saja dibuat. Bu Anna punya koneksi dan uang pelicinnya bagus. Jika bukti setornya sudah ada maka dia tak perlu memberikan uangnya."

Suasana mendadak hening saat mereka mencoba mencerna informasi yang terlalu tiba-tiba ini. Arlene lah yang pertama menguasai diri.

"Tapi total sumbangannya bahkan nggak sampai 2 juta. Buat apa Bu Anna korupsi cuma buat uang segitu?"

"Dua juta… per minggu kan?"

Arlene terkesiap. Jika sumbangan semacam ini dilakukan per minggu maka Bu Anna bisa mendapat delapan juta perbulan. Itu jumlah yang tak bisa dianggap kecil jika dilakukan terus menerus. Firmi pun menambahkan;

"Jangan anggap 2 juta per minggu itu kecil. Itu cuma permulaan. Dengan banyaknya sumbangan, kemenangan olimpiade, simulasi ujian dan lain-lain maka akreditasi sekolah meningkat, banyak orang akan tertarik dan mendaftar. Perlahan-lahan sekolah ini akan jadi sekolah top sampai-sampai orangtua akan membayar agar anaknya bisa masuk. Bisnis kunci jawaban, bisnis jual kursi, dan sumbangan dari banyak instansi. Tumpukan uang sudah menanti di ujung jalan itu."

Keheningan total adalah situasi sempurna untuk menyambut hujan deras yang mendadak turun. Para anggota Osis sudah sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Firmi? dia mulai membuka sebungkus roti lagi.

"Kau… tau banyak ya?" tanya Airu yang akhirnya memilih bicara. "Dari mana kau bisa tahu sampai sedetail itu?"

"Karena aku yang merancang semuanya."

Keterkejutan di wajah para gadis sama sekali tak sampai ke wajah Airu, dia memasang ekspresi yang begitu tenang seolah dia memang mengharapkan jawaban itu.

"Pantas saja, aku punya perasaan tak enak saat mengurus proposal itu. Kalau bolah aku tahu, apa uang hasil simulasi ujian juga dikorupsi?"

"Ya."

"Is that so? Aku jadi ingat saat perekrutan anggota Osis. Apa kau ingat alasanmu waktu itu?"

"Agar aku punya alasan untuk bolos kelas. Ya, itu setengah benar."

"Jadi alasan sebenarnya adalah untuk menjalankan korupsi dibalik layar dengan memanfaatkan Osis? Cerdas, kau menipu kami semua. Aku terlalu kagum sampai-sampai tak bisa marah sekarang."

Namun kemarahan itu sudah terwakilkan oleh Arlene. Dia mendadak bangkit dari kursinya dan dengan gelap mata dia menampar Firmi keras sekali hingga suara tamparan itu membangunkan Kai dari tidurnya.

Satu tamparan disusul dengan tamparan lain. Firmi bisa merasakan bibir bagian dalamnya berdarah, tapi dia bisa mengerti mengapa dia pantas mendapatkannya, karena itulah dia tidak melawan.

"Okay, itu cukup. Satu tamparan lagi dan kau akan membunuhnya."

Airu lah yang menghentikannya. Arlene masih murka, memberontak agar bisa menampar Firmi sekali lagi, tetapi tenaga Airu yang lebih kuat membuat Arlene menyerah.

"Kenapa kau membela bajingan ini?!" protesnya.

"Oh ya, dia bajingan, bajingan milik kita. Fakta bahwa dia berhasil menipu kita semua dan malah mengakui semuanya adalah aib bagi Osis dan kalau kau membunuhnya itu akan menambah panjang daftar aib tersebut. Lagipula, aku tak menyangka kau jadi sebegitu marah Arlene, apa kegiatan Osis benar-benar penting bagimu?"

"Kak Airu tidak marah?!"

"Hmm… aku cukup kesal karena kerja kerasku ternyata dimanfaatkan oleh nenek tua itu tapi tak sebegitunya sampai akan memukuli orang lain. Lagipula Firmi mengakui semuanya, jika tidak maka kita akan terus diperas hingga kering."

Perlahan Arlene menurunkan tangannya dan membuang muka kesal. Seisi ruangan pun kembali dipenuhi dengan keheningan yang ganjil dan Airu memecah keheningan itu.

"Pertama-tama, aku ingin semua yang kita bicarakan tidak meninggalkan ruangan ini," ucapnya dengan nada serius yang belum pernah terdengar sebelumnya. "Aku tak tahu apa yang kalian pikirkan tapi karena kalian juga anggota Osis maka aku akan beritahu apa yang aku pikirkan…."

Crazy CheaterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang