Ketika menghentikan motornya di tempat yang Firmi tunjuk, Arlene terdiam seribu bahasa. Dia yakin sekali itu adalah kompleks pemakaman paling buruk yang pernah dia lihat. Tidak, itu sama sekali tak mirip kompleks pemakaman, lebih mirip rawa-rawa liar di tengah hutan.
"Terima kasih sudah mengantarku," balas Firmi sembari menunduk sopan, "lebih baik kau langsung pulang sekarang."
"Aku… akan menunggu."
Arlene penasaran. Dia punya sedikit gambaran akan siapa yang hendak Firmi temui dan itu membuatnya sangat penasaran. Dia melihat punggung Firmi menjauh dan menghilang di balik pepohonan lebat sebelum menyusul Firmi diam-diam agar tidak ketahuan.
Kotor dan bau, jika bukan karena ada keperluan maka Arlene tak akan sudi menginjakkan kakinya di tempat ini, apalagi berjalan hingga ke ujung. Namun, sepelan yang dia bisa, Arlene terus menggerakkan kakinya ke tempat Firmi berada. Sejujurnya Arlene tak mengerti mengapa dia melakukan itu. Penasaran… dan mungkin juga curiga.
Dengan tetap memastikan dirinya tersembunyi dari pandangan, Arlene mengintip apa yang Firmi lakukan. Dalam sekejap mata Arlene menyipit, takjub dengan apa yang dia lihat.Arlene merasa dia sudah cukup mengenal Firmi, tetapi ekspresi yang Firmi tunjukkan saat dia menatap kuburan itu adalah sesuatu yang tak pernah Arlene sangka. Ekspresinya begitu lembut, penuh kasih sayang. Tak ada jejak arogansi maupun kebencian di matanya sampai-sampai Arlene merasa tengah melihat orang yang berbeda.
Dan yang Arlene lakukan setelah melihat itu hanyalah diam. Tak mengatakan apa pun, tak memikirkan apa pun. Perlahan Arlene berbalik dan meninggalkan tempat itu sepelan yang dia bisa.
"Kau tak harus menungguku," ucap Firmi begitu dia kembali.
"Bukan masalah. Mau kuantar balik ke sekolah?"
"Kalau kau bersikeras."
Arlene mencoba untuk tidak bertanya, tetapi sebelum dia menyalakan kembali motornya pertanyaan itu keluar begitu saja, "Tadi itu kuburan siapa?"
"Kuburan ibuku," jawab Firmi santai sembari melihat dua pasang jejak kaki di tanah yang lembab.
"Ooh…."
Sepanjang perjalanan Arlene tak menanyakan apa pun lagi. Dia menggigit bibirnya sendiri sementara pikirannya melayang ke masa lalu. Karena tidak fokus pada jalan raya dia nyaris saja menabrak sebuah mobil jika Firmi tidak cepat membelokkan stang motor dengan paksa.
"Kau ngelamun apa sih?!"
"Maaf maaf maaf."
Hati Arlene tak tenang dan itu membuatnya tak bisa berpikir jernih. Untungnya sekolah mereka sudah terlihat di depan mata dan Firmi turun dengan selamat.
"Kau nggak apa-apa kan? Pulangnya pelan-pelan aja, hati-hati." Firmi memberi peringatan ketika melihat Arlene yang masih gundah. Arlene mencoba tersenyum dan mengangguk.
"Aku nggak apa-apa kok."
"Baguslah. Makasih udah nganter aku keliling."
Tanpa sadar tangan Arlene sudah bergerak menyentuh pipi Firmi. Firmi menaikkan alisnya keheranan tapi dia tidak menolak. Arlene membelai pipi yang masih merah karena ditampar olehnya tadi dan dia begitu terhanyut dalam tindakannya itu.
"Kalau kau mau nampar aku lagi aku nggak masalah kok," ucap Firmi tiba-tiba, membuat Arlene terbangun dari lamunannya.
"Kau ini suka ditampar ya?"
"Tidak. Kalau harus memilih tentu aku pilih tidak."
Dan sebagai ganti tamparan Arlene memilih mencubit pipi itu pelan. Firmi memiringkan kepalanya bingung namun Arlene tak menjelaskan apa pun.
"Maaf karena nampar kau tadi. Selamat sore, tidur nyenyak."
Dan sebelum Firmi sempat membalas Arlene sudah tancap gas untuk kembali memasuki jalan raya. Arlene memastikan pikirannya fokus ke jalan raya, tetapi saat dia sudah berbaring aman di tempat tidurnya dia mulai mengutuk dirinya sendiri.
"Kejam," ucapnya pada diri sendiri. Dia ingat masa-masa ketika dia berlaku jahat pada Firmi, dan saat Firmi menatap kuburan ibu yang telah melahirkannya membuat hati Arlene sesak akan rasa bersalah. Jika saja dia bisa bertemu dengan dirinya di masa lalu maka dia akan memberitahu anak itu untuk bersikap baik pada Firmi, berteman dengannya, dan membelanya saat kesulitan.
Namun semua yang ada di masa lalu sudah terjadi, tak mungkin baginya untuk menghapus kenyataan itu.
Suara nada dering ponselnya membuat Arlene mengangkat wajah dari bantal. Dia mengangkat panggilan tersebut tanpa melihat nama pemanggil."Halo … Ya … Sekarang? Bisa sih…"
Arlene melihat ke luar jendela, masih ada satu jam kurang sedikit sebelum matahari terbenam jadi dia bergegas mengganti seragamnya dan pergi menuju tempat yang dijanjikan. Di sana Carla sudah menunggunya.
"Ada apa? Jarang-jarang kau minta ketemuan jam segini."
Sudah jelas ada yang tidak beres dengan Carla. Ada lingkaran hitam di kelopak matanya dan tanpa itu pun penampilannya sungguh kacau.
"Kau oke?" tanya Arlene prihatin, Carla mengangguk.
"Aku harus cerita sama seseorang. Kurasa… kurasa aku bisa gila."
"Ceritalah ceritalah. Kau tau kan aku pendengar yang baik."
Sudah sepuluh tahun mereka berteman dan Carla mempercayai Arlene layaknya saudara sendiri. Arlene bangga mengatakan bahwa dia bukan orang yang suka membocorkan aib orang lain. Dia mengira ini hanya akan menjadi sesi curhat biasa, mungkin tentang ayahnya yang jarang pulang, tetapi ketika Carla selesai bercerita Arlene merasa kekacauan Carla menular ke dalam pikirannya.
"Kau… bercanda kan?"
Arlene berharap dengan sepenuh hati bahwa Carla akan mengatakan ‘surprise!’ sembari menunjuk ke arah kamera tersembunyi, sayangnya tak ada sedikit pun tanda bahwa Carla tidak serius. Semua yang dia katakan adalah kenyataan. Arlene merasa makan siangnya mencoba naik kembali ke tenggorokan.
"Aku nggak tahu aku harus apa," Carla merintih putus asa sembari menarik rambutnya, "kurasa aku bisa gila memikirkan itu, aku bahkan nggak bisa tidur nyenyak. Menurutmu Arlene, aku harus bagaimana?"
Arlene sama sekali tak punya jawaban untuk itu. Pantas saja Firmi kabur, pikirnya. Arlene tak bisa membayangkan betapa besar guncangan yang dia terima saat mengetahui kebenaran akan kelahirannya, dan di atas semua itu Arlene sama sekali tak menyangka ayah Carla tega berbuat hal semacam itu.
"Kurasa… Firmi nggak akan mau kembali ke rumahmu," kata Arlene pada akhirnya, "kalau aku di posisinya aku yakin kembali ke sana cuma menimbulkan sakit hati. Bahkan, kurasa dia nggak akan mau ketemu kau lagi."
Jawabannya membuat Carla tampak semakin depresi dan karenanya Arlene buru-buru menambahkan, "Begini lo, dia itu suka samamu dan kalian itu… yah, setengah saudara. Secara logika lebih baik kalian saling menjauh daripada tersakiti."Carla menggigit bibirnya dengan ekspresi kesakitan sementara Arlene merasa kepalanya berdenyut-denyut menyakitkan. Baru saja dia merasa bersalah pada Firmi dan sekarang dia jadi semakin mengasihaninya. Sebenarnya, bagaimana bisa Firmi masih tersenyum setelah menghadapi itu semua?
"Semalam, aku bicara dengan Mama," bisik Carla pelan sehingga Arlene harus mendekat agar bisa mendengarnya, "aku tanya gimana bisa Firmi menjadi seperti itu dan Mama bilang kelahirannya adalah kombinasi beberapa ketidakberuntungan. Lahir dari ayah yang salah, dibesarkan oleh orang yang salah, dan bertemu dengan orang yang salah. Makanya dia tak paham apa itu cinta. Tak pernah dicintai, tak pernah diajari cara untuk mencintai sehingga dia hanya bisa berpegang pada pemikirannya sendiri. Aku jadi paham kenapa Mama begitu baik padanya, dia mencoba mengajari Firmi apa itu kasih sayang, tapi sebelum dia benar-benar paham semua berubah menjadi seperti ini. Makanya, kuharap, seseorang bisa benar-benar mencintainya di luar sana."
Arlene mendengarkan tanpa menyela. Dia mendengar harapan Carla dan mengharapkan hal yang serupa. Tapi, jika tak ada siapa pun diluar sana yang bisa melakukan itu, maka….
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Cheater
Teen FictionFirmi bukanlah murid biasa. Tak ada yang tahu siapa dia, bahkan dirinya sendiri pun tak tahu. Namun, kedatangannya ke Sma Bukit Cahaya membawa badai besar yang berujung pada gerakan konspirasi di sekolah. Perlahan-lahan Firmi pun belajar menjadi ma...