Dengan banyaknya hal yang perlu Firmi lakukan di kamar barunya, malam tiba dengan amat cepat. Dia menuruni tangga ke lantai satu dan mendapati Bu Mina tengah memasak di dapur. Karena ukuran rumah yang begitu luas membuat Firmi butuh waktu untuk menemukan lokasi dapur hanya dengan penciumannya.
Firmi merasa canggung. Sejauh yang dia lihat tak ada orang lain di rumah tersebut, tidak pembantu atau bahkan anggota keluarga lain. Namun dari yang Firmi lihat Bu Mina tampak memasak untuk porsi tiga sampai empat orang.
"Aku lupa bertanya, apa kau suka ayam gulai?" tanya Bu Mina sembari mematikan kompor dan mengeluarkan piring.
"Ayam?"
"Gulai, ya."
Bu Mina memandangnya bingung sementara Firmi mencoba mengingat kapan dia terakhir kali memakan daging ayam.
"Sejujurnya saya sudah lama sekali tidak makan ayam," jawab Firmi kemudian, "sekitar 9 tahun, 2 bulan, dan 14 hari yang lalu."
Tatapan heran Bu Mina sungguh mengganggunya. Apakah hal yang dia katakan barusan tak pantas untuk diucapkan kepada seorang ibu tiri?
"Tapi kau memang kurus sekali," ucapnya prihatin, memandang Firmi dari atas ke bawah dengan tatapan tajam yang seolah menembus pakaiannya yang kebesaran. "Apa kau makan cukup selama di panti asuhan?"
"Saya tak tahu definisi makan cukup itu sebesar apa."
Bu Mina tampak nyaris menangis jadi Firmi memilih membuang muka.
"Kalau begitu makanlah, makan yang banyak."
Duduk berhadapan dengan Bu Mina, Firmi disajikan dengan makan malam paling spektakuler dalam hidupnya. Gulai ayam dengan aroma rempah-rempah yang merangsang kelenjar ludah, kentang tumbuk lembut, potongan tomat segar dan beberapa iris selada. Bagi Firmi yang setiap harinya makan nasi telur, dia tak tahu bagaimana cara mengungkapkan apa yang baru saja dia rasakan.
Perlahan-lahan dia pun mengambil garpu, menusuk ayamnya dan membawa potongan daging itu ke mulutnya. Firmi bisa merasakan sensasi luar biasa bermain-main di mulutnya dan dia mengunyahnya lama sekali.
"Gimana? Enak?"
"…. Enak."
Bu Mina menambahkan lebih banyak potongan ayam ke piringnya dan Firmi menyantap semuanya dengan lahap. Dia memakan semua yang Bu Mina tawarkan padanya dan dalam waktu singkat perutnya mulai terasa sesak, sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Selesai dengan hidangan utama Bu Mina mengeluarkan es krim buatan sendiri yang manis dan dingin lalu disusul dengan buah-buahan segar. Makanan-makanan itu membuat Firmi benar-benar merasa hidup. Satu makan malam saja sudah mengandung nutrisi yang lebih besar dibanding makanan untuk satu minggu di panti asuhan.
Selesai dengan makan malam Firmi membantu membereskan meja. Dia menyadari masih ada makanan yang cukup untuk satu orang tersisa."Apa suami Anda tidak di sini?" tanya Firmi pelan sembari mencuci piring.
"Suamiku sedang ke Jerman, urusan bisnis," jawabnya. "Tapi dia sudah tahu tentangmu jadi jangan khawatir."
"Saya tidak khawatir," balas Firmi, "tapi Anda belum menjawab pertanyaan, kenapa Anda mengadopsi saya?"
Bu Mina memasang wajah berat namun diselamatkan dari kewajiban menjawab dengan suara langkah kaki yang mendekati mereka. Suara langkah kaki itu terdengar kecil dan familiar di telinga Firmi. Dan benar saja, pemilik dari suara langkah itu memasuki dapur dan Firmi dihadapkan dengan seorang gadis yang paling dia benci di dunia ini.
"Oh… hai Carla."
Gadis itu memberengut, tak senang melihat Firmi sementara Firmi merasakan ketidaksenangan yang sama besarnya. Mendadak saja pemikiran untuk kembali ke panti asuhan terasa begitu menggoda.
"Carla, bukankah tadi Mama bilang agar kita makan bersama?" Bu Mina memarahinya dengan suara dingin namun Carla malah membuang pandang.
"Kenapa sih Mama mengadopsi… siapa namamu?" tanyanya ke Firmi, jelas sekali berpura-pura bodoh.
"Aku tahu kau bodoh jadi memang wajar saja kau lupa namaku. Panggil saja aku Firmi."
"Jaga mulutmu dasar penumpang," bentaknya pedas.
"Kau yang harus jaga mulut Carla!" Bu Mina kembali membentaknya dan suhu ruangan terasa anjlok sepuluh derajat, kemarahannya tidak main-main, "Mulai sekarang Firmi tinggal di sini dan dia lebih tua darimu jadi tunjukkan rasa hormat. Panggil dia 'kakak.'"
"Najis!"
Dengan satu kata itu dia berbalik dan pergi begitu saja. Bu Mina mengelus dada dan menghembuskan napas berat sementara Firmi merasa ingin muntah, dia menyesal sudah makan terlalu banyak.
"Kalian berdua sudah saling kenal kan?" tanya Bu Mina kemudian.
"Ya… saat Sd dulu."
"Kau membuatnya menangis padahal dia yang memukulmu dan kau tidak mau minta maaf."
"Karena saya memang tidak salah. Kenapa pula saya harus minta maaf?"
"Ya, kau tidak salah di situ."
Bu Mina mengangguk, mengambil segelas air untuk melegakan tenggorokannya dan duduk terdiam di kursi, matanya menerawang. Firmi bertanya-tanya apakah sebaiknya dia kembali ke kamarnya, tetapi Bu Mina memberi isyarat agar Firmi ikut duduk jadi Firmi pun duduk di depannya.
"Carla itu anak yang sangat emosian," ucapnya. "Dia kebalikan darimu. Jika kau sepenuhnya hidup menggunakan logika maka dia sepenuhnya hidup dengan emosi, hanya melakukan apa yang dia mau. Itu salahku dia tumbuh seperti itu, aku terlalu memanjakannya."
"Kedengarannya sangat berat."
"Sangat sangat berat," jawabnya dengan wajah yang mendadak jauh lebih tua akibat kelelahan. "Dia beruntung bisa masuk Sma tapi dengan nilai-nilainya dia tak akan bisa melanjut. Sebagai ibunya aku sangat khawatir."
"Jadi Anda mengadopsi saya untuk menjadi guru les nya?"
"Tidak! Bukan begi—"
"Tak apa, saya paham dan saya tak keberatan. Saya memang tak menyukainya namun saya orang yang tahu balas budi."
Bu Mina tampak ingin mengatakan sesuatu tapi tidak ada suara yang keluar. Dia menelan ludah sekali dan kemudian berkata, "Mohon bantuannya."
Masuk akal jika Bu Mina memilih mengadopsi Firmi. Harga untuk menyewa guru les profesional tak akan lebih mahal dibandingkan memberi Firmi makan tiga kali sehari. Firmi sendiri tak keberatan dengan pertukaran itu, di mana lagi dia bisa hidup enak hanya dengan mengajari satu orang beberapa rumus matematika?
Firmi kembali memandangi sisa makanan yang tidak jadi dimakan Carla. Dia tahu bahwa mengajari Carla pasti akan membawa begitu banyak masalah, tetapi dia merasa itu tak akan ada apa-apanya dibanding kelezatan makan malam yang dia dapatkan hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Cheater
Novela JuvenilFirmi bukanlah murid biasa. Tak ada yang tahu siapa dia, bahkan dirinya sendiri pun tak tahu. Namun, kedatangannya ke Sma Bukit Cahaya membawa badai besar yang berujung pada gerakan konspirasi di sekolah. Perlahan-lahan Firmi pun belajar menjadi ma...