Malam hari pun tiba bersamaan dengan tugas memasak Firmi. Butuh waktu dan banyak upaya sampai akhirnya semangkuk sayuran dan beberapa ikan goreng tersaji di meja. Firmi mencoba mengunyah satu dan langsung jelas baginya bahwa dia lebih menyukai masakan Bu Mina. Ikan yang Firmi goreng terasa begitu hambar dan sayurnya juga terlalu asin. Ternyata memasak itu jauh berbeda dibanding percobaan kimia.
Dia melirik ke arah Carla, bertanya-tanya apakah dia akan protes tentang makanan yang jauh dibawah standar ini, tetapi ternyata Carla makan tanpa mengeluh.
"Lumayan… enak kok," ucapnya dengan ekspresi seolah ada segumpal garam di mulutnya."Kenapa kau bohong? Jelas-jelas ini nggak enak."
"Karena itu namanya sopan santun," balas Carla dengan mata menyipit tak senang. "Kau sudah berusaha memasak jadi nggak mungkin aku bilang rasanya seperti muntah. Aku ini tahu yang namanya rasa hormat."
"Bukannya berbohong artinya lebih tidak menghormati?"
"I-iya sih… tapi kau nggak perlu terlalu kasar. Di dunia ini ada yang namanya kebohongan putih."
Firmi memilih untuk tidak melanjutkan perdebatan. Dia mencatat kegagalan hari ini dalam kepalanya sehingga jika besok dia memasak masakan serupa dia tak akan mengulangi kesalahan yang sama.
"Aku agak penasaran,” Carla bergumam di tengah makan malam sembari mengacungkan sendok ke arahnya, “kau nggak pernah senyum ya? Coba senyum dulu, katakan cheeseee."
Namun Firmi terus melanjutkan makan tanpa memperdulikan Carla. Carla cemberut. Dia bangkit dari kursinya, mengeluarkan ponsel, dan menempeli Firmi dengan ponsel terangkat.
"Biar kita ada foto berdua, senyum dong."
"Aku ngga—Aww!"
Carla menusuk pinggangnya dengan garpu tepat di saat lampu kamera menyala. Melihat hasil tangkapannya Carla tertawa terbahak-bahak. Firmi sama sekali tidak menganggap itu lucu.
"Maaf maaf. Aku cuma bercanda, jangan dibawa ke hati. Okay? Kau jangan marah, apalagi dendam."
Dia mengelus puncak kepala Firmi layaknya tengah menenangkan anak kecil yang kehilangan permen. Firmi dapat mencium parfum aroma buah menguar dari tubuhnya. Ternyata Carla menggunakan parfum yang sama dengan ibunya.
"Aku tak akan pernah paham tindakan iseng seperti ini," jawab Firmi begitu saja.
"Lama-lama kau pasti paham kok. Kau mau foto ini nggak? Sini ponselmu biar kukirim."
"Aku nggak punya ponsel," balas Firmi pelan, "dan aku juga tak butuh foto itu."
Ekspresi Carla tampak seperti baru saja melihat jerapah di tengah jalan, terkejut tak percaya."What? Masih ada manusia di jaman sekarang yang nggak punya ponsel? Memangnya kau nggak punya teman buat ngechat?"
"Memang nggak."
Carla terdiam, matanya memancarkan rasa kasihan yang tidak mengenakkan. Akhirnya dia pun pergi begitu saja, menaiki tangga ke lantai dua, dan kembali sepuluh menit kemudian dengan ponsel lain di tangannya.
"Nih, ini ponsel lamaku tapi harusnya masih bagus."
"Aku nggak butuh."
"Jadi orang jangan keras kepala. Siapa tahu suatu hari kau benar-benar perlu. Anggap aja balasan buat yang tadi."
Firmi menatap benda berbentuk persegi panjang itu ragu-ragu. Bukannya dia takut pada teknologi, dia yakin benda elektronik itu bisa dipelajari dengan mudah, tapi masalahnya adalah…."Aku tak bisa menerima ini," kata Firmi sembari mendorong ponsel tersebut kembali ke Carla. Carla tampak hendak protes jadi Firmi buru-buru menambahkan, "Tapi besok aku mau beli yang baru, punyaku sendiri. Temani saja aku memilihnya."
Carla tertegun untuk sesaat dan kemudian membalas dengan senyum tipis sambil mengangguk.
"Sudah diputuskan kalau begitu."
Mereka pun menyelesaikan makan malam dengan tenang. Setelah makan Firmi langsung kembali ke kamarnya untuk melanjutkan proposal kegiatan yang tengah dia urus. Awalnya dia mengerjakan dengan fokus hingga sesuatu mengganggu pikirannya.
Akhirnya Firmi pun membuka folder foto yang ada di laptop tersebut. Laptop yang Bu Mina berikan padanya masih memiliki beberapa data peninggalan pemilik sebelumnya dan Firmi membuka satu foto. Di foto tersebut ada empat orang yang tengah melakukan foto keluarga.
Berdiri di paling pinggir ada Bu Mina yang sekitar sepuluh tahun lebih muda dari yang Firmi kenal. Di sebelahnya ada Carla yang berusia lima tahun, Carla di foto tersebut sedikit lebih pendek dibanding saat Firmi pertama bertemu dengannya jadi foto ini pasti diambil sebelum itu.
Di sebelah Carla terdapat seorang anak yang Firmi kenali sebagai kakak perempuan Carla yang meninggal delapan tahun yang lalu. Baik Carla maupun Bu Mina tak pernah mengungkit tentangnya dan karenanya Firmi tak tahu apa pun tentang hal tersebut.
Dan di sebelahnya lagi ada seorang pria yang jelas merupakan ayah Carla. Pria itu memiliki wajah yang serius dan tidak ramah, persis seperti bayangan Firmi akan figur seorang pengusaha kaya.
Firmi memandangi foto tersebut lekat-lekat. Meski itu foto dari sepuluh tahun yang lalu namun Firmi tetap merasakan hal yang serupa dan semakin lama dia memandanginya semakin gusar pula pikirannya.
Apakah… dia sungguh-sungguh sudah jatuh cinta?
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Cheater
Teen FictionFirmi bukanlah murid biasa. Tak ada yang tahu siapa dia, bahkan dirinya sendiri pun tak tahu. Namun, kedatangannya ke Sma Bukit Cahaya membawa badai besar yang berujung pada gerakan konspirasi di sekolah. Perlahan-lahan Firmi pun belajar menjadi ma...