Konspirasi busuk

95 7 0
                                    

“Ooo …. Jadi begitu ceritanya kenapa Aila bisa lulus ujian. Padahal aku udah pasang taruhan kalau dia pasti gagal.”

Kai mengangguk-angguk sembari meminum sodanya. Hanya ada tiga orang di ruangan Osis pagi ini, tiga orang yang lebih memilih membolos dibanding mengikuti pembelajaran di kelas.

“Memangnya kau kenal Aila?” tanya Firmi. Kai kembali mengangguk-angguk.

“Oh ya, dia istriku.”

“Wow! Sungguh kebetulan yang aneh.”

Firmi dan Aila tak lagi pernah berkontak sejak saat itu. Mungkin Aila lebih memilih menghadapi ujian pemahaman materi dengan jujur, atau mungkin juga dia merasa tak lagi membutuhkan bantuan Firmi dan memutuskan merusak mesin fotokopi seorang diri.

“Aku heran, kalau otaknya memang nggak sanggup kenapa dia harus masuk Nusa Bangsa? Dia cuma menyiksa diri sendiri,” gumam Firmi.

“Kalau kau nggak tau apa-apa mending diam aja,” celetuk Arlene di seberang meja. Dari nada suaranya tampaknya dia masih marah pada Firmi. “Banyak orang rela bayar ratusan juga buat masuk ke sana. Sma yang bagus menjamin universitas yang bagus lalu pekerjaan yang bagus. Kalau sekolah ini apa? Apa yang sekolah ini tawarkan?”

“Santai sedikit Arlene, bukan salahku kalau kau gagal masuk ke Nusa Bangsa. Tapi dari yang kulihat, masuk Sma yang berkualitas tak akan membuatmu jadi berkualitas juga. Lihat saja Alia, lihat saja Carla!”

“Sepakat,” sambut Kai cepat. “Orangtuaku juga memaksaku masuk ke sana tapi aku tahu betul tempat itu cuma akan menyiksaku. Untuk apa menyiksa diri hanya demi status belaka?”

“Terserahlah, dasar kalian dua orang tanpa harapan,” sindir Arlene sebelum menutup telinganya dengan earphone. Kai kembali menghadap Firmi.

“Lalu apa yang terjadi pada si bangsat Arie itu? Kuharap kau membunuhnya secara mental.”

“Sayangnya tidak. Tidak sekeras itu. Tapi aku menunjukkan dengan jelas siapa bosnya ….”

***

Dalam lima belas tahun hidupnya, itu adalah pertama kalinya Firmi pergi ke luar kota. Suhu udara yang beberapa derajat lebih tinggi serta volume manusia yang berkeliaran ke berbagai tempat membuatnya benar-benar merasakan kesan 'Luar Kota.' Dia merasakan dorongan kuat untuk pergi ke bangunan tertinggi, menuju lantai paling atas, dan melihat betapa kecilnya manusia dari puncak. Sayangnya dia tak punya waktu untuk itu. Saat Firmi tiba di lokasi penyelenggaraan, ujian sudah dimulai.

Firmi duduk dan menyelesaikan seluruh soal dengan cepat namun tidak langsung meninggalkan ruangan karena itu akan menarik terlalu banyak perhatian. Posisinya yang terletak paling belakang membuatnya leluasa melihat wajah stress dari orang-orang di depannya dan hal itu membuatnya bertanya-tanya, mengapa orang-orang ini berusaha begitu keras?

Firmi tahu ada hadiah sepuluh juta untuk pemenang, tetapi hanya satu orang yang akan mendapatkan hadiah tersebut sedangkan lebih dari tiga ratus orang tak akan mendapat apa pun. Hanya orang-orang yang yakin akan menanglah yang akan mengambil peluang super kecil tersebut namun dari apa yang Firmi lihat tak ada satu pun wajah pemenang di ruangan ini.

Tujuh baris dan dua kolom di depannya dia melihat Arie yang tengah menggigiti jarinya sendiri. Dia melihat lembaran soal seolah-olah ada peta harta karun di sana namun tangannya tidak bergerak, tak mampu menemukan harta karun tersebut. Bagi Firmi itu adalah pemandangan yang menyedihkan. Dia tak mengerti mengapa Arie berusaha begitu keras hanya untuk mengikuti olimpiade sampai-sampai harus mengeliminasi Firmi padahal keluarganya tidak kurang suatu apa pun. Apa gelar juara olimpiade benar-benar penting?

Crazy CheaterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang