Hari masih pagi saat Firmi dibangunkan oleh gedoran pintu. Dia sangat yakin bahwa masih terlalu pagi untuk murid-murid tiba di sekolah, tetapi jika mengingat pembicaraan mereka kemarin maka tak aneh jika ada anggota Osis yang datang lebih awal. Firmi pun memaksa bangun dari atas meja dan membuka pintu yang sebenarnya tidak terkunci.
"Ada apa pagi—"
"Kau udah sarapan?"
"… Err… selamat pagi?"
"Selamat pagi! Kau udah sarapan?"
"Belum…."
Tanpa mengatakan apa pun lagi Arlene menerobos masuk dan meletakkan tasnya di atas meja lalu mengeluarkan kotak makannya. Dia membuka kotak tersebut dan menyuruh Firmi duduk.
"Aku masak kebanyakan. Makanlah, habiskan."
Untuk ukuran 'kebanyakan' porsi yang Arlene siapkan benar-benar melebihi ukuran lambung manusia normal. Firmi menatap Arlene curiga, tetapi Arlene hanya tersenyum begitu lebar sampai-sampai Firmi yakin perempuan itu mengalami gangguan otak.
"Kau kenapa? Jangan bilang waktu pulang kemarin kau kecelakaan sampai kena geger otak?"
"Aissh, kau kejam banget. Aku berbaik hati membawakanmu sarapan, kau nggak mau?"
Matanya yang berbinar penuh harap itu semakin membuat Firmi curiga, tetapi karena dia memang lapar Firmi pun mengambil sendok dan menyuap satu kali.
"Gimana rasanya? Enak?"
"Kalau dibandingkan dengan masakan Bu Mina, tidak terlalu."
Senyum lebar itu lenyap seketika.
"Oh. Kalau gitu kau pulang aja ke sana."
Arlene menarik kembali kotak bekal itu tapi Firmi menahannya.
"Bukannya kau bilang ini untukku?"
"Kenapa kau nggak minta masakan Tante aja? Masakannya lebih enak kan?"
"Aku nggak mau ketemu dia."
"Ahh ya, hilang sudah moodku."
Kendati Arlene membiarkan Firmi terus makan tapi suasananya berubah tidak enak. Firmi merasa dia sudah melakukan kesalahan dan mungkin kesalahannya adalah karena dia terlalu jujur.
"Jadi, apa maumu?" tanya Firmi sembari menutup kembali kotak bekal tersebut. Dia hanya sanggup makan setengah dan memutuskan memakan sisanya saat siang.
"Apanya?" tanya Arlene, masih ada sedikit kekesalan di wajahnya.
"Kau ngasih aku makan karna ada sesuatu kan? Katakan saja, selama permintaanmu masuk akal pasti kuturuti."
Kekesalan itu perlahan menghilang di wajah Arlene dan digantikan oleh cemas dan keragu-raguan.
"Umm… itu permintaan maaf, untuk dosa-dosaku dulu," ucap Arlene. "Kau ingat kan? Dulu aku sering makan di depanmu padahal tahu kau kelaparan. Makanya sekarang aku membalik keadaan. Aku melihatmu makan banyak padahal aku belum sarapan."
Firmi mencapai kesimpulan dalam sepersekian detik. Konyol, itulah yang dia pikirkan.
"Masalah itu sudah terkubur. Carla sudah membayarnya."
"Tapi itu kan Carla. Kau harus menghukumku juga."
"Perjanjian yang kubuat dengan Carla adalah memaafkan kalian berempat. Aku tak bisa menghukummu."
"Tapi aku mau. Kau harus menghukumku atau aku akan terus merasa bersalah. Kalau kau mau aku berlutut dan menjadi keset kakimu pun aku tak keberatan."
Firmi menghembuskan napas berat. Harus dia akui, Arlene adalah orang yang paling merepotkan untuk ditangani.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Cheater
Fiksi RemajaFirmi bukanlah murid biasa. Tak ada yang tahu siapa dia, bahkan dirinya sendiri pun tak tahu. Namun, kedatangannya ke Sma Bukit Cahaya membawa badai besar yang berujung pada gerakan konspirasi di sekolah. Perlahan-lahan Firmi pun belajar menjadi ma...