Waktu berjalan seperti biasa, sama sekali tidak memperdulikan Firmi yang sibuk menonton drama Korea di laptop Arlene. Dia menonton dengan sabar, tidak membuat komentar apa pun sampai akhirnya film itu selesai.
“Aku tak akan mau ke bioskop untuk menonton yang seperti ini,” komentar Firmi segera. “Kurasa sutradaranya hanya memasukkan segala unsur yang disukai penonton tanpa benar-benar memikirkan apa yang dia buat. Scene terakhir saat pemeran wanita membatalkan penerbangan dan kembali pada pria yang sudah selingkuh tiga kali hanya dengan modal kata-kata ‘percayalah padaku’ sama sekali tidak masuk akal.”
“Well, cinta memang tidak masuk akal.”
“Jika cinta tidak masuk akal mengapa orang-orang bisa menyimpulkan bahwa cinta itu indah? Ini sama seperti agama, orang-orang percaya tanpa tahu apa yang mereka percaya.”
“Kau ini atheis ya?”
“Lebih seperti agnostik dibanding atheis. Aku percaya tapi tak ada buktinya.”
“Nah, itu dia! Percaya.”
Arlene, yang memutuskan bolos hanya untuk mencecoki Firmi dengan drama Korea, memasang ekspresi seolah dia sudah memenangkan diskusi.
“Selama manusia percaya, apa pun bisa jadi nyata,” ucapnya kemudian.
“Kau terdengar seperti korban MLM yang kelewat optimis. Kepercayaan seperti itu hanya akan membuatmu gampang ditipu.”
“Urgghh….” Arlene kembali memasang ekspresi kalah. “Jadi menurutmu cinta yang logis itu bagaimana?”
“Kurasa kasih sayang orangtua dan anak adalah bentuk yang bagus. Aku tak paham sudut pandang orangtua, tapi seorang anak pastilah sangat mencintai orangtuanya. Atau setidaknya, setiap anak yang dibesarkan dengan baik pasti menyayangi orangtuanya. Ini semacam reaksi timbal balik, kau pasti ramah dengan orang yang baik denganmu kan?”
“Ya… kurasa itu contoh yang bagus.”
Namun Arlene terlihat tidak puas. Jelas dia mengharapkan sesuatu yang berbeda.
“Kau terlalu pintar. Aku tak sanggup mengajarimu.”
“Tak apa, aku bisa belajar sendiri.”
Mencoba mempercayai konsep yang disebut cinta memberi Firmi motivasi untuk bergerak. Mengetahui ada sesuatu yang tidak dia ketahui membuatnya merasa tertantang, sesuatu yang cukup lama hilang dari hidupnya. Terlebih lagi itu sesuatu yang menyenangkan, bukan tipuan maupun konspirasi.
“Jadi, apa tujuanmu sekarang?” tanya Arlene lagi.
“Untuk sekarang aku ingin mencari sebuah cita-cita.”
“Tujuan macam apa itu?”
“Apa kau punya cita-cita?”
Meski awalnya tertawa, ternyata Arlene tak sanggup menjawab.
“Aku masih memikirkan itu, tapi aku benar-benar tak tahu ingin melakukan apa. Kebanyakan anak muda jaman sekarang juga cuma hidup mengikuti arus. Mungkin aku akan mendaftar seleksi PNS dan hidup tenang.”
“Bukan itu cita-cita yang kumaksud. Maksudku adalah, apa yang menggerakkanmu untuk hidup? Apa kau bekerja untuk hidup? Atau hidup untuk bekerja? Ambil Elon Musk sebagai contoh, dia ingin meninggal di Mars dan itulah yang menggerakkannya untuk terus hidup. Kau juga pasti punya sebuah tujuan besar kan?”
“…. Itu pertanyaan yang terlalu berat. Aku… tidak punya. Kurasa kebanyakan orang tidak punya.”
“Kalau begitu mulailah memikirkannya. Bukankah menyedihkan jika manusia hidup hanya sekedar hidup?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Cheater
Teen FictionFirmi bukanlah murid biasa. Tak ada yang tahu siapa dia, bahkan dirinya sendiri pun tak tahu. Namun, kedatangannya ke Sma Bukit Cahaya membawa badai besar yang berujung pada gerakan konspirasi di sekolah. Perlahan-lahan Firmi pun belajar menjadi ma...