Firmi merasa mendengar suara nyaring yang amat mengganggu. Pandangannya kabur dengan warna merah yang berasal dari cairan yang membasahi matanya. Firmi mencoba menggerakkan tangannya untuk menyingkirkan cairan itu, tetapi dia tidak bisa merasakan tenaga mengaliri tubuhnya. Dia merasa lemah dan kedinginan.
Butuh waktu beberapa lama bagi Firmi untuk menyadari bahwa suara yang mengganggu itu adalah suaranya sendiri dan perasaan lemah itu diakibatkan oleh tubuhnya yang begitu kecil dan kotor.
Firmi akhirnya mengerti, dia baru saja terlahir. Ini adalah mimpi, mimpi yang sudah sering kali mengganggunya sejak dulu.
Namun ada satu hal yang berbeda. Dia tersadar! Dia tahu bahwa dia tengah bermimpi.
Mendadak saja pandangannya menjadi begitu cerah, dia merasakan kekuatan di dalam tubuhnya, dan tanpa Firmi mengerti bagaimana dia sudah berdiri, berjalan mendekati wanita yang tengah terkapar di lantai.
"Mama."
Wanita itu membuka matanya, tersenyum menatap Firmi.
"Anakku."
Kondisi mereka saat ini benar-benar tidak cocok untuk berbicara jadi Firmi membayangkan sebuah meja kecil di tengah taman bunga, sedetik kemudian bayangannya menjadi kenyataan. Ibunya tampak sama persis dengan yang dia lihat di foto sedangkan Firmi mengambil bentuk seperti dirinya di dunia nyata.
"Akhirnya aku mengerti mengapa orang-orang lebih suka hidup di alam mimpi," ucap Firmi sembari menatap ibunya lekat-lekat, "aku juga tak ingin terbangun lagi."
Kedua ujung bibir ibunya tertarik membentuk senyum paling indah yang pernah Firmi lihat. Ibunya terlihat amat bercahaya dan itu membuat hatinya terasa hangat dan tentram. Perlahan dia meraih tangan kanan ibunya dan meletakkannya di pipinya.
"Kau tumbuh begitu besar," ucap ibunya sembari mengelus wajah Firmi dengan tangan kecilnya, "sayang sekali Mama tak ada di sana melihatmu tumbuh."
"Aku sudah cukup senang karena Mama mau melahirkanku."
Sentuhan ibunya turun dari pipi menuju leher dan kemudian berhenti di dadanya. Firmi tahu apa yang ibunya cari jadi Firmi membuat jantungnya berdetak keras hingga bisa terdengar oleh telinga.
"Kau hidup," bisik ibunya, "organ kecil ini akan terus berdetak untukmu hingga hari di mana kau mati."
"Tapi… aku ingin mati," balas Firmi, senyum menghilang dari wajah ibunya, "logikanya, aku lebih suka bersama Mama, di sini, selamanya."
"Logika… hmm…."
Sungguh, Firmi sangat senang melihat ibunya membuat bermacam-macam ekspresi. Dia akan kecewa bila ibunya benar-benar merupakan cerminan dari dirinya yang efektif dan teratur.
"Mama mengerti, mati memang jalan paling efektif untuk mengakhiri semua penderitaan hidup. Tapi satu hal yang perlu kau tahu, para peneliti sepanjang sejarah tak akan pernah menciptakan teori yang kau pelajari sekarang bila mereka menyerah menghadapi masalah."
"Tapi aku bukan peneliti. Dan masalahku tak akan berguna bagi siapa pun."
"Kau yakin? Kau selalu terpaku pada data dan karna itulah kau tak pernah sadar akan sesuatu yang tak tampak. Kau tahu apa yang dikatakan Mencius tentang itu? Jika kau hanya percaya pada apa yang tertulis di buku maka kau bukanlah tandingan bagi orang yang tidak memiliki buku."
"Tapi… jika bukan dari buku maka dari mana lagi aku harus belajar?"
Menanggapi itu senyum sedih terukir di wajah ibunya.
"Mama sangat berharap bisa memutar waktu dan mencari panti asuhan yang lebih baik. Setidaknya, kau akan dibesarkan dengan lebih banyak cinta. Anakku, saat mengandungmu aku bisa merasakan umurku tak akan panjang lagi, karena itulah aku harus memastikan kau bisa terus hidup meski tanpaku. Maaf, aku tak punya keluarga lain, hanya ke panti asuhanlah aku bisa menitipkanmu."
Raut bersalah tampak amat kentara di wajah ibunya. Firmi tidak membencinya karena hal itu, tak mungkin dia membencinya.
"Kehidupanmu tidak didasari oleh cinta apa pun. Awalnya Althaf hanya menginginkan seorang anak yang bisa menjadi pendonor untuk putrinya, dia menawariku sejumlah besar uang tapi… tak mungkin aku melukai hati Mina seperti itu, dia selalu baik padaku. Meski begitu aku melihat rasa cintanya pada putrinya, dia pasti akan sangat terpukul jika kehilangan putrinya dan karenanya aku pun setuju.
"Perlahan, aku bisa merasakan kau tumbuh di dalam perutku. Awalnya aku tak punya perasaan padamu, bagiku kau hanyalah alat untuk membuat Mina tetap bahagia, tapi semua berubah saat kau mulai bergerak. Tendangan kecilmu dan semua perasaan-perasaan lain yang kau susupkan ke hatiku, itu membuatku merasakan apa yang disebut cinta, sesuatu yang tidak ada di buku cetak mana pun.
"Dalam sekejap kau menjadi sesuatu yang amat berharga bagiku dan aku tak ingin kehilanganmu. Rasa egois akhirnya muncul dan mengalahkan semua logika yang mengatur hidupku. Hal berikutnya yang kusadari aku sudah kabur. Aku memutuskan untuk membiarkanmu hidup selama yang kau inginkan. Ya, hidupmu adalah milikmu."
Firmi mendengarkan tanpa menyela. Dia merasa seperti seorang bayi yang mendengarkan cerita pengantar tidur, meski cerita tersebut sama sekali tak pantas menjadi cerita pengantar tidur.
"Kau mirip sekali denganku," sambung Anya lagi, "tapi aku berubah karena aku mencintaimu. Aku bisa merasakan hidup yang jauh berbeda dengan dirimu di dalam diriku. Cinta, terdengar konyol, tak ada dalam teori sains, tapi itulah kuncinya. Mama yakin kau sudah tau jawaban dari pertanyaanmu, kau hanya perlu menerimanya, kau hanya perlu mempercayainya."
Firmi merasakan tangannya di dekap oleh tangan ibunya yang lembut, kehangatan mengaliri seluruh tubuhnya. Kendati demikian masih ada satu hal lain yang membuatnya ragu, satu hal yang menghalanginya untuk percaya.
"Aku takut," ucap Firmi pada akhirnya, "saat aku tahu kebenarannya aku merasa sangat sakit. Aku tak yakin aku sanggup merasakan itu lagi. Siapa yang mau mencintai orang sepertiku? Dan jika memang ada, apakah cinta itu asli? Atau hanya pura-pura? Aku—aku…. Aku tak ingin sakit hati lagi."
Tanpa Firmi sadari meja di antara mereka sudah menghilang dan kini mereka saling berdiri berhadapan. Anya menatapnya dengan pandangan penuh kasih sayang, di saat itulah Firmi menyadari bahwa mereka memiliki mata yang serupa.
"Kau lihat di atas sana?" tanya ibunya sembari menunjuk ke arah langit yang telah berubah menjadi malam penuh bintang, persis seperti yang Firmi lihat sebelumnya. "Di luar sana terdapat milyaran bintang dan galaksi yang tidak terukur luasnya. Penderitaan yang kau alami hanyalah setitik debu yang akan lenyap begitu saja. Jika kau merasa mengalami kesulitan maka lihatlah ke angkasa, bintang-bintang itu akan bersinar menerangi jalanmu."
Firmi menatap ke atas dengan penuh keresahan. Bintang-bintang itu terletak begitu jauh, tak tersentuh olehnya yang sendirian di dunia ini.
"Semakin lama aku kesepian aku terus berpikir dan berpikir, hasilnya aku menjadi lebih mengenal siapa sebenarnya diriku dan aku tahu aku bukan orang yang percaya pada hal semacam itu. Mama… percaya akan hal semacam itu?"
Dengan keyakinan penuh Anya mengangguk. "Semakin lama kau berdiam dalam kesepian, mentalmu akan semakin dan semakin melemah. Dan semakin kau memikirkan hal yang sebenarnya tak perlu kau pikirkan kau akan mulai meragukan sesuatu yang sudah kau yakini pasti. Carilah teman anakku, berbuat baiklah pada orang lain dan mereka akan baik padamu. Jangan kasihani dirimu sendiri, cukup percaya bahwa kau akan baik-baik saja. Mama percaya, kau akan baik-baik saja."
Dan kemudian cahaya putih menyilaukan mulai melahap segala yang ada di sekitar mereka. Firmi menatap ibunya lekat-lekat, menunjukkan senyum terbaik yang dia bisa sebagai ucapan perpisahan.
"Aku masih tak ingin terbangun dari mimpi."
"Tapi semua mimpi akan menemui akhir," balas ibunya bijak.
"Meski cuma mimpi, aku bahagia bisa bersama Mama."
Firmi merengkuh ibunya dalam pelukan. Firmi merasakan tangan ibunya membelai kepalanya, menenangkannya, memberkahinya ketika cahaya putih itu semakin terang menyelimuti mereka berdua.
"Firmi anakku. Ini memang hanya mimpi, tapi Mama adalah nyata. Dan Mama akan selalu mengawasimu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Cheater
Teen FictionFirmi bukanlah murid biasa. Tak ada yang tahu siapa dia, bahkan dirinya sendiri pun tak tahu. Namun, kedatangannya ke Sma Bukit Cahaya membawa badai besar yang berujung pada gerakan konspirasi di sekolah. Perlahan-lahan Firmi pun belajar menjadi ma...