Firmi terbangun saat merasakan sesuatu yang dingin di dahinya. Dia mengedipkan kelopak mata beberapa kali. Butuh waktu agar matanya terbiasa dan saat perih di matanya lenyap dia melihat wajah seorang wanita yang tampak gelap karena dilatari cahaya mentari pagi.
"Syukurlah, kau hidup."
Firmi kenal suara itu dan jika pemilik suara itu sudah di sini maka artinya Firmi tertidur benar-benar lama.
"Jam berapa sekarang?" tanya Firmi sembari mendudukkan tubuhnya.
"Jam tujuh lewat lima belas," jawab Arlene sembari meletakkan botol minumnya kembali ke tas. "Kau tidur di sini?" tanyanya lagi dengan nada takjub.
"Kenapa kau kemari jam tujuh lima belas?" tanya Firmi, memutuskan tidak menjawab pertanyaan yang tidak perlu dijawab.
"Di kelas ada guru jadi aku nggak bisa buat pr, makanya aku—kau dari mana aja?!"
Teriakan keras itu akan memancing para guru, pikir Firmi. Tubuhnya terasa begitu sakit karena memilih tidur di atas meja ruang Osis dan berjanji pada diri sendiri untuk tidak melakukannya lagi.
"Aku… mencari arti kehidupan," jawab Firmi seadanya.
"Oh? Arti kehidupan? So? Udah ketemu?"
"Hmm… ya, kurasa sudah."
Arlene menatapnya curiga. Jelas tak mempercayai ucapan Firmi.
"Kau mimpi buruk ya?" tanyanya lagi.
"Nggak kok. Sebaliknya, mimpiku sangat indah."
"Kau nangis lo."
Firmi mengusap pipinya. Air matanya bahkan belum mengering di sana.
"Ahh, ya. Apa aku mengigau dalam tidur?"
"Ya," jawab Arlene sembari mengangguk kecil, "kau bilang; mama… mama…."
Firmi memutar bola matanya, sama sekali tidak terkejut. Dia turun dari meja dan mulai meregangkan diri sementara Arlene menatapnya seolah-olah dia menderita penyakit tertentu. Tatapan itu membuat Firmi risih.
"Kau mau buat pr kan? Lakukanlah kalau begitu."
Arlene tampaknya ingin mengatakan sesuatu tapi suaranya hanya sampai di kerongkongan. Akhirnya dia pun mengeluarkan buku catatannya dan mulai menulis. Firmi memperhatikan jam dinding, di jam segini kebanyakan murid pasti sudah datang dan para guru sudah berpatroli. Firmi tak akan bisa berjalan keluar gerbang tanpa dicegat tiga atau empat guru jadi dia harus tetap bersembunyi di ruang Osis sampai jam pulang tiba.
Mendadak saja Firmi merasa begitu lapar. Bagaimana caranya mendapatkan makanan jika dia tak bisa keluar? Jawaban paling masuk akal adalah meminta pertolongan Arlene, tapi apa Arlene mau membantunya?
Firmi menatap Arlene lekat-lekat, mengigat kembali apa yang dia ketahui tentang gadis itu dan sadar bahwa dia nyaris tak tahu apa-apa tentangnya. Rupanya, Arlene sadar bahwa dia sedang diperhatikan.
"Ada yang salah?" tanyanya curiga.
"Aku sedang bertanya-tanya apa yang harus kulakukan agar kau mau membelikanku makanan."
Arlene tersentak namun menguasai diri dengan cepat. Itulah Firmi yang kukenal, mungkin itu yang ada di pikirannya.
"Kalau kau lapar di laci ada snack sisa semalam, itu pun kalau Kai tidak menghabiskan semuanya."
Firmi membuka laci, ada keripik pisang yang tinggal sisa separuh dan Firmi memakannya dengan lahap. Saat dia selesai dia malah merasa lebih lapar dibanding sebelum makan.
"Kau terlihat mengenaskan," kata Arlene pada akhirnya. "Pergi tanpa bilang-bilang, meninggalkan semua barangmu, kembali dengan pakaian yang kebesaran. Aku kaget kau masih hidup. Apa kau menggelandang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Cheater
Teen FictionFirmi bukanlah murid biasa. Tak ada yang tahu siapa dia, bahkan dirinya sendiri pun tak tahu. Namun, kedatangannya ke Sma Bukit Cahaya membawa badai besar yang berujung pada gerakan konspirasi di sekolah. Perlahan-lahan Firmi pun belajar menjadi ma...