Sarapan esok paginya terasa seperti mimpi bagi Firmi. Diawali dengan guncangan lembut di bahu yang membangunkannya dari tidur lalu disusul dengan sarapan berkelas dengan roti, selai, dan teh ala bangsawan Inggris. Firmi menikmati sarapan pantas pertamanya dengan hati gembira sedangkan Carla tampak seperti memakan karpet. Dia mengabaikan Firmi dan Firmi juga mengabaikannya.
Seusai sarapan Bu Mina mengantar mereka ke sekolah menggunakan mobil. Carla duduk di kursi belakang dan Firmi (yang lebih suka tidak memandangnya) memilih duduk di kursi sebelah kemudi. Mobil pun melaju dengan tenang, bergabung dengan ratusan mobil lain untuk bersama-sama memenuhi jalan.
"Saya penasaran, apa Anda tak punya supir pribadi?" tanya Firmi di tengah kemacetan.
"Tidak," jawab Bu Mina singkat, "logikanya jika seseorang bisa menyetir maka tak ada gunanya mempekerjakan supir kan?"
"Logikanya seorang pebisnis akan terlalu lelah untuk menyetir sehingga memerlukan seorang supir. Pebisnis yang sibuk juga bisa memanfaatkan waktu perjalanan untuk tidur atau menghubungi klien jadi wajar saja untuk memiliki supir."
"Oh?! Apa aku sudah bilang suamiku seorang pengusaha?"
"Tidak, tapi tak mungkin suami Anda hanya pekerja kantoran bila dia bisa membeli rumah semewah itu."
"Masuk akal."
Tak lama kemudian mereka sudah memasuki kawasan Sma Nusa Bangsa. Bu Mina memberhentikan mobilnya beberapa meter sebelum gerbang dan di sana lah Carla turun.
"Ma, nanti aku mau jalan-jalan dengan teman jadi nggak perlu jemput aku. Bye!"
"Eh?! Tunggu seben—"
Namun Carla sudah berlari memasuki gerbang dan lenyap dari pandangan. Sekarang setelah Firmi mengamati lebih teliti ada banyak sekali murid yang diantar menggunakan mobil, pemandangan yang langka di Sma Bukit Cahaya.
"Anak itu selalu saja begitu," keluh Bu Mina begitu mobil berjalan lagi.
"Tapi mengejutkan juga, dia bisa masuk ke sekolah itu dengan level otaknya," gumam Firmi, Bu Mina mengeluarkan ekspresi masam. "Tunggu sebentar, jangan bilang dia masuk berkat uang?"
"… Suamiku yang mengaturnya, tolong jangan bilang siapa pun."
"Tak masalah, saya bisa tutup mulut."
"Tapi itu cukup aneh, kan? Kenapa kau memilih Sma Bukit Cahaya dengan level otakmu yang bisa menjuarai olimpiade?" tanya Bu Mina lagi.
"Karena di sana gratis," jawab Firmi sederhana, Bu Mina mengangguk mengerti.
"Lalu apa kau mau pindah ke Nusa Bangsa? Tidak akan sulit mengaturnya."
"Terima kasih tapi saya harus menolak, saya sudah kerasan di sekolah itu."
"Begitukah? Bagus kalau begitu."
Firmi meminta Bu Mina untuk menghentikan mobil sekitar seratus meter dari pintu gerbang agar tak ada orang yang melihatnya datang menggunakan mobil mewah. Sebelum turun Bu Mina memberinya amplop yang cukup tebal.
"Apa ini?"
"Uang," jawab Bu Mina sederhana.
"Apa ada yang harus kubeli dengan ini sebelum pulang?"
"Bukan bukan, itu uang jajanmu."
"Uang… jajan?"
Istilah itu amat asing di telinga Firmi kendati dia mengerti apa maksudnya. Dia bimbang sejenak namun akhirnya menerima uang itu dengan banyak terima kasih lalu menunggu hingga mobil menjauh sebelum melangkah memasuki sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Cheater
Novela JuvenilFirmi bukanlah murid biasa. Tak ada yang tahu siapa dia, bahkan dirinya sendiri pun tak tahu. Namun, kedatangannya ke Sma Bukit Cahaya membawa badai besar yang berujung pada gerakan konspirasi di sekolah. Perlahan-lahan Firmi pun belajar menjadi ma...